Kamis, 01 November 2007

TROUGH THE LINE

KETIKA IKLAN MULAI DI BENCI
Fenomena Through The Line dan Ambient Media di Tengah Media Periklanan Konvensional
Oleh Rudi Irawanto[*]

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Data dari AC Nielsen menunjukkan bahwa tidak lebih 40% pemirsa televisi yang tertarik dengan iklan. Pembelian produk lebih banyak dipengaruhi oleh situasi terakhir di depan rak-rak toko. Fenomena yang semakin mengukuhkan peran media in store sebagai ujung tombak penjualan. Iklan dinilai tidak lagi membumi dan mengambil jarak yang terlampau jauh dengan keinginan konsumen. Konsumen yang pada awal perkembangan pasar dimaknai sebagai pihak yang pasif dan sangat tergantung pada produsen, pada gilirannya semakin otonom. Produsen tidak mampu mengedukasi pasar tanpa menanamkan keterlibatan konsumen dalam proses pemasaran yang tengah dijalankan.
Konsep tradisional marketing senanantiasa menempatkan media, khususnya televisi, sebagai sarana handal untuk membangun performa produk atau merek di mata konsumen. Prinsip tersebut mulai bergeser ketika pasar semakin kompetitif sehingga penempatan iklan dalam konteks above the line (media lini atas) maupun below the line (media lini bawah) dipandang tidak lagi relevan. Prinsip “radical marketing” cenderung berfikir “out of the box”, berfikir di luar kerangka yang sudah ada. Prinsip tradisional lebih terfokus pada produk dan benefit (produk as hero) yang ditawarkan, sedangkan konsep radical marketing lebih terfokus pada pelanggan (consumer) sebagai end user langsung. Jabaran konsep radical marketing tidak semata-mata menyajikan konsep pemasaran dengan pendekatan hard selling, tetapi lebih kepada penciptaan persepsi positif dan empati konsumen melalui berbagai lini yang saling terintegrasi.
Fenomena pemasaran yang beriringan dengan kejenuhan konsumen terhadap periklanan. Iklan yang terlampau banyak, utamanya pada media televisi, mulai diragukan efektivitasnya. Fenomena yang oleh Ries (2004) dinilai sebagai akhir dari kejayaan periklanan. Iklan telah mencapai titik terendah dalam kontribusinya untuk mendorong penjualan. Era yang oleh Ries disebut sebagai masa kematian periklanan dan kebangkitan peran public relation. Peran public relation dalam mendorong citra perusahaan atau citra merek dinilai lebih handal dibandingkan melalui kampaye periklanan. Kejayaan peran PR dalam kaca mata Ries lebih disebabkan peran komunikasi personal yang lebih baik dan berjalan secara simultan, sebuah kondisi yang sulit digantikan oleh bentuk periklanan konvensional
Fenomena pasar yang semakin kompetitif, konsumen yang semakin selektif dan ditunjang oleh semakin miskinnya peran iklan dalam mengangkat penjualan produk, melahirkan beberapa konsep periklanan baru dan prinsip-prinsip pemasaran yang elastis. Periklanan tidak lagi dimaknai sebagai lini yang mengambil jalan berbeda dengan kebijakan marketing secara umum. Marketing tidak lagi berbicara tentang jalur-jalur produksi dan distribusi semata-mata. Pemaduan konsep marketing mix dalam satu jalur yang saling terintegrasi pada gilirannya menempatkan konsumen sebagai target dan sekaligus pijakan awal dalam bentuk-bentuk komunikasi pemasarannya. Bentuk-bentuk periklanan dalam kerangka throght the line dan penggunaan ambient media merupakan salah satu upaya memodifikasi pemasaran yang menempatkan konsumen acuan.

2. Rumusan Masalah
Beradasarkan bahasan sebelumnya permasalahan yang hendak diangkat dalam makalah ini adalah bagaimanakah peran periklanan trough the line dan Ambient Media dalam membentuk citra produk atau perusahaan?

3. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan peran periklanan through the line dan ambient media dalam membentuk citra produk atau perusahaan.


B. PRINSIP “USANG” PERIKLANAN KONVENSIONAL
Periklanan secara konvensional dimaknai sebagai tindakan persuasif untuk mempengaruhi audiens. Audiens diposisikan sebagai pihak yang pasif dan tidak otonom, sehingga setiap keputusan pembelian merupakan akibat panjang dari bentuk-bentuk perlakuan ekternal. Posisi konsumen sebagai pihak yang berjarak dengan produk-produk sehingga tindakan promosi diperlukan untuk mempersempit jarak tersebut. Pemberian citra-citra terhadap produk, yang pada gilirannya akan merubah persepsi konsumen merupakan salah satu indikasi keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Perkembanan perekonomian yang diiringin perkembangan oreintasi produk melahirkan teori-teori periklanan baru. Keberadaan produk tidak lagi dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan fisik semata-mata, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis. Konsumen tidak lagi dinilai sebagai sosok yang hanya berbicara pada tataran rasionalitas, tetapi pada perkembangannya lebih mengedepankan sisi emosionalitas (Kartajaya: 2003). Pembelian terhadap produk tidak lepas dari pertimbangan emosionalitas. Dimensi emosionlitas terlepas relasi gender ataupun usia, persepsi yang dapat muncul pada konsumen laki-laki maupun perempuan, atau pada usia muda maupun tua.
Teori-teori periklanan baru dibangun untuk menjembatani perkembangan konsumen yang memiliki perubahan orientasi produk. Prinsip-prinsip periklanan konvensional yang cenderung berfikir statis dinilai tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Jim Aitchison (2004:48) melihat 8 kesalahan periklanan konvensional yang tidak lagi relevan dengan perkembangan fenomena konsumen diabad ke 21. Beberapa teori periklanan konvensional yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan persepsi konsumen adalah:
1) Setiap kampanye periklanan harus senantiasa menampilan USP (Unique Selling Proposition) dari produk yang diiklankan.
2) Iklan yang baik senantiasa mengedepankan rational benefit.
3) Iklan bertema humor tidak memiliki daya jual.
4) Setiap produk harus mengetengahkan slogan yang mudah diingat.
5) Paparan visual iklan harus menampilan logo produk.
6) Tampilan visual produk harus selalu ditampilkan.
7) Setiap bentuk kampanye iklan harus senantiasa memiliki persamaan satu dengan lainnya.
8) Iklan-iklan kreatif tidak memiliki daya jual.
Delapan hal tersebut yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan konsumen dewasa ini. Pendapat Aitchison tersebut pada prinsipnya lebih ditujukan untuk membangun preferensi terhadap merek. Contoh-contoh yang dikemukakan lebih banyak berkutat pada produk-produk yang telah memiliki preferensi kuat.
Aitchison melihat penggunaan USP (Unique Selling Proposition) tidak lagi populer mengingat konsep USP senantiasa berbicara bila produk tersebut memiliki 3 aspek yaitu genuine, tangible, dan differences. Bila ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi maka sangat sulit menciptakan USP. USP telah tergantikan dengan konsep ESP (Emotional Selling Proposition). Konsep ESP lebih mengetengahkan pendekatan emosional, sisi USP dinilai tidak lagi relevan mengingat seorang konsumen memiliki keterbatasan ingatan terhadap fungsi-fungsi fisik semua produk. ESP membangun hubungan yang lebih customized dengan konsumen. Pembelian terhadap produk lebih disebabkan oleh ikatan emosional antara produk tersebut dengan konsumen. Fenomena penggunaan ESP dapat ditemui dalam iklan Suzuki Swift. ESP diungkapakan antara lain dengan slogan yang berbunyi It’s Boy Thing. Iklan tersebut tidak menawarkan kelebihan apa-apa, mengingat mobil jenis hatchback tidak hanya Swift, disegmen yang sama terdapat Toyota Yaris.
Pendekatan rational benefit sebagai tema kampanye periklanan dinilai tidak lagi relevan dengan fenomena konsumen yang semakin tidak rasional. Atchitson (2004:54) melihat bahwa 90% otak manusia dipenuhi oleh hal-hal yang irrasional, fakta yang memperkuat peran irrational benefit sebagai tema kampanye periklanan. Differensiasi merek hanya dapat diciptakan melalui pembentukan karisma merek. Kharisma merek hanya mampu diciptakan dengan spritual value, yang didalamnya merangkum tidak hanya functional value tetapi juga emotional dan intellectual value (Kartajaya, 2003:72). Spiritual value merupakan salah satu bentuk dari hal-hal yang bersifat irasional.
Mahbubani (1997) mencatat ada banyak perbedaan cara berfikir antara Eropa dan Asia. Orang-orang Asia masih menaroh pendekatan spiritual dalam pola fikirnya (Batey, 2002:35). Hal yang sama terkait dalam persoalan humor. Humor merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam cara berfikir di Asia. Humor merupakan salah satu kekuatan yang dinilai mampu menjadi daya tarik penjualan. Fenomena humor mulai menjadi perhatian yang serius dalam konsep periklanan modern. Kenneth Roman (2005:117) mencatat bahwa diantara 30 iklan yang menang dalam festival iklan dalam 10 tahun terakhir, dua pertiga dari iklan tersebut menggunakan humor sebagai daya tariknya. Beberapa iklan dalam konteks through the line banyak mengetengahkan humor sebagai daya tariknya. Periklanan tidak lagi berpijak pada konsep produk as hero, tetapi dibingkai sebagai bentuk differensiasi, yang disalurkan dalam bentuk yang fun.
Timoty Foster (2006) menyebut 10 benchmarks (patokan) yang berkaitan dengan slogan yaitu memorable, recall the name, mengandung key benefit, differentiate, mencerminkan brand personality, believable, strategic, competitive, original, dan menimbulkan positive feeling. Konsep Foster tentang slogan dinilai tidak relevan untuk produk-produk yang telah memIliki brand awareness tinggi. Slogan yang memorable tidak selalu mampu meningkatkan persepsi terhadap merek. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah menciptakan sisi emotional benefit.

Iklan-iklan yang mengedepankan sisi emosional benefit, lebih banyak berbicara secara visual. Elemen logo dalam visualisasi iklan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Karakteristik produk dapat dibangun dengan elemen warna yang khas, penggunaan tipografi yang spesifik, komposisi yang unik atau melalui gaya bahasa yang khas. Komposisi warna, tipografi ataupun gaya bahasa, dinilai mampu menggantikan kehadiran logo. Bentuk periklanan yang semakin customized, sehingga tidak mampu diterjemahkan oleh setiap audiens yang melihat.
Produk yang berbicara pada sisi emosionalitas tidak memerlukan paparan visual yang berkesan menggurui. Paparan visual yang sederhana tanpa menampilkan produk yang bersangkutan menjadi suatu yang lazim. Iklan-iklan berbicara melalui visualisasi simbolis dengan mengetengahkan teks yang sangat minimal.
Prinsip similaritas dalam setiap kampanye periklanan dinilai tidak relevan dengan perkembangan pemahaman konsumen. Prinsip similaritas tidak lagi diwujudkan dalam tampilan visual, tetapi lebih pada ketaatan terhadap persepsi dan citra produk yang bersangkutan. Kondisi tersebut diciptakan dengan menampilkan citra produk secara taat pada beberapa media yang berbeda. Fenomena yang lebih menekankan pada prinsip emotional branding.
Prinsip periklanan dengan konsep hard selling, tidak berbicara pada tataran kreatifitas, tetapi lebih berpedoman pada fluktuasi penjualan sesaat. Konsep periklanan yang mengabaikan kreativiats sebagai salah satu elemen penunjang citra produk. Konsekwensi dari hal tersebut adalah keberadaan iklan-iklan kreatif dianggap tidak mampu memberikan dampak marketing yang serius. Perkembangan konsep periklanan yang terintegrasi menunjukkan bahwa iklan-iklan kreatif mampu mendongkrak penjualan secara signifikan. Kreativitas periklanan, baik yang disampaikan dengan visualisasi yang tidak lazim ataupun dengan muatan humor yang kental, pada beberapa kasus mampu menimbulkan impact yang positif terhadap produk.


C. FENOMENA PERIKLANAN KREATIF DALAM KONTEKS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA
Konsep through the line pada mulanya merupakan upaya untuk membangun bentuk periklanan yang terintegrasi antara media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas (above the line) dan media lini bawah (bellow the line) dinilai tidak mampu memenuhi fungsinya secara optimal. Through the line (pada lini) merupakan bentuk pendekatan holistik dan disinyalir merupakan bentuk masa depan periklanan (Lwin, 2002:93). Para praktisi iklan tidak hanya mengandalkan media massa sebagai media penyampai pesan yang efektif.


Ambient media (media lingkungan) merupakan bentuk periklanan yang memanfaatkan lingkungan sekitar media iklan sebagai bagian dalam kegiatan periklanan yang dilakukan. Ambient media selalu berpijak pada unsur kejutan sebagai konsepnya. Konsumen diharapkan memperoleh hal-hal yang baru yang dapat memberikan impact langsung terhadap produk atau merek yang tengah diiklankan.


Merek Nike (atas) memasang setiap logonya pada setiap tempat sampah, sehingga menyerupai keranjang basket ball. Sedangkan pada bagian bawah HSBC membuat sebuah cermin yang ditempeli foto sebuah mobil dengan ukuran yang sebenarnya dan disertai slogan “stop dreaming, start driving.” .
Fenomena through the line dan ambient media merupakan salah satu upaya pengiklan untuk mengurangi kejenuhan terhadap periklanan konvensional. Periklanan konvensional senantisa berada dalam pada dua lini dan terikat pada tempat dan konteks yang “kaku”. Through the line dan ambient media berupaya menguraikan kekakuan pembagian media dan keterikatan pada konteks dengan menciptakan ruang beriklan yang bebas dan kreatif.
Prinsip through the line dan ambient media adalah membangun hubungan relasional dengan audiens dengan jalan yang tidak terduga. Unsur impact dan “kejutan” yang muncul merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan periklanan yang dilakukan. Iklan yang disuguhkan diharapkan memberikan pengalaman baru. Pengalaman yang terbentuk tidak semata-mata berperan sebagai entertainment, tetapi juga mampu meningkatan preferensi merek. Media periklanan yang tidak terikat pada lini, menyebabkan eksplorasi media harus senantiasa dilakukan. Keberhasilan through the line dan ambient media tidak semata-mata tergantung pada eksekusi visual, tetapi juga ditujang oleh respon audien dan lingkungan sekitar iklan. Konsep media, lingkungan visual, dan keberadaan audiens aktif menjadi satu kesatuan yang menentukan keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Media komunikasi periklanan berdasarkan tingkat kedekatan dengan konsumen dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu media in home, ini life experience, dan in retail. Periklanan medern tidak bekerja pada satu aspek media semata-mata. Konsep periklanan yang terintegrasi berupaya mengedukasi konsumen pada setiap kesempatan. Edukasi terhadap sebuah merek tidak melulu dilakukan di rumah (in home), tetapi juga dilakukan pada kegiatan yang sering mereka lakukan (in life experience), dan juga pada saat pembelian (in store).
Konsep through the line dan ambient media dapat dilihat sebagai upaya penciptaan experience yang unik bagi pelanggan. Penanaman brand awareness disalurkan melalui pemupukan kedekatan emosional yang customized. Through the line dan ambient media merupakan bentuk periklanan yang tidak bersifat massal. Perilaku konsumen dilihat secara indiviual, sehingga setiap produk diasumsikan memiliki karakter konsumen yang unik yang khas. Pada prinsipnya segmentasi produk yang jelas menjadi penentu utama keberhasilan kampanye iklan yang dijalankan. Pemahaman terhadap sisi psikografik dan behavioristik konsumen merupakan salah satu elemen yang harus dipahami oleh pengiklan. Inti dari through the line dan ambient media adalah penciptaan experience. Penciptaan experience hanya mungkin dilakukan bila produk telah memiliki segmen yang spesifik (segmented) dan pemasar telah memahami karakter konsumen secara menyeluruh.
Penciptaan experience dalam konteks marketing dapat dicapai dengan dua tindakan, yaitu brand experience dan costumer interface. Brand experience disalurkan dalam bentuk pencitraan terhadap produk yang bersangkutan, misalnya dalam paparan visualisasi logo, kemasan, interior ruang, style produk dan hal-hal yang sifatnya visual. Costumer interface lebih banyak dilakukan oleh oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Inti tidakan costumer interface adalah interaksi langsung dengan pelanggan, menggunakan berbagai media dan dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Through the line dan ambient media sebagai sebuah wilayah periklanan baru keberadaannya sejalan dengan konsep Costumer Experience Strategi (CES) dalam marketing. Konsep Costumer Experience Strategi meyakini keberhasilan pemasaran melalui penciptaan experience (Experiental marketing) bagi pelanggan. Konsep CES bergerak pada 5 komponen yaitu konsep sense, feel, think, act, dan relate (Schmitt, 2006). Inti dari CES adalah melihat konsumen secara indivual sehingga setiap konsumen dimaknai memiliki sikap dan tindakan yang khas. Antisipasi terhadap sikap dan tidakan tersebut, yang dikemas dalam bentuk pengalaman ketika memperoleh atau mengkonsumsi produk, akan menimbulkan experience terhadap produk yang dipasarkan. Fenomena tersebut pada gilirannya diharapkan menumbuhkan persepsi positif terhadap produk atau layanan jasa yang diberikan produsen.
Periklanan dan tindakan marketing lainnya berjalan secara terintegrasi. Penciptaan pengalaman tidak melulu urusan marketing tetapi juga menjadi bagian dalam program periklanan yang dijalankan. Konsep pemasaran terpadu (Integrated Marketing Communication) merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap kejenuhan pasar dan tanggapan negatif terhadap iklan. Iklan yang “tidak biasa” diharapkan mampu mencuri perhatian diatara “hiruk pikuk” iklan yang ada. Pengalaman yang unik terhadap produk dan bentuk periklanan kreatif pada gilirannya akan meningkatkan citra produk secara lebih baik.


D. SEKILAS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA DI INDONESIA
Penggunaan konsep pada lini (through the line) dan media lingkungan (ambient media) di Indonesia belum banyak dijumpai. Salah satu contoh penggunaan ambient media di Indonesia dapat dijumpai pada iklan susu bendera (gambar 4). Iklan yang dikemas sangat kreatif, dengan mamadukan unsur bellow the line (poster) dengan properti real. Keberadaan endorser produk, yaitu Anton Taminsyah sebagai juara catur dunia antar sekolah tahun 2005 dan Diandra, best power forward Kejurnas Libala 2004 divisualisasikan dalam bentuk poster dalam ukuran yang sebenarnya, sedangkan properti lainnya merupakan properti yang real dalam bentuk dan ukuran yang sebenarnya.

Ide-ide kreatif dalam periklanan di Indonesia tidak selalu kalah dengan kreativitas periklanan manca negara. Pada beberapa kasus dapat dijumpai model-model iklan dan teknik marketing kreatif dengan menggukan media yang tidak biasa. Beberapa iklan keratif di Indonesia diantaranya iklan Mezzo, yang menggunakan media balon udara, gerai Eiger dengan display lingkungan petualang, Softek yang meluncurkan tagline repostioning bersama ADA Band atau JnA Donuts yang menampilkan pesona dapur dalam toko donatnya.
Fenomena through the line dan ambient media merupakan hal baru di Indonesia, tetapi bentuk-bentuk kerativitas periklanan sudah mulai lama dijalankan. Persoalan yang sering timbul adalah persepsi masyarakat Indonesia yang beragam, sedangkan keberadaan through the line dan ambient media hanya mungkin dilakukan bila kelas-kelas masyarakat telah memiliki preferesi yang cenderung homogen. Homogenitas perseptual merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong kreativitas periklanan. Pada prinsipnya media periklanan keratif bertujuan menciptakan clarity, consistency, dan maximum communications impact.

E. PENUTUP
Fenomena Through the line dan ambient media hadir untuk menjawab kejenuhan periklanan, sehingga iklan diharapkan mampu tampil secara tidak biasa sehingga mampu menarik perhatian lebih. Impact dan kejutan yang timbul pada gilirannya diharpkan mampu mengangkat persepsi dan citra produk yang diiklankan. Through the line dan ambient media dapat berjalan bila terdapat kerjasama yang ideal antara visualisasi iklan, lingkungan sekitar, dan audiens yang responsif. Keberadaan through the line dan ambient media dapat berjalan dengan baik bila terdapat persepsi positif terhadap karya-karya periklanan kreatif, mengingat iklan-iklan kreatif memiliki potensi mengundang kontroversi.


DAFTAR PUSTAKA
Aitchison, Jim. 2004. Cutting Edge Advertising How To Create The World’s Best Print for Brand in The 21st Century. Singapore: Pearson Pretice Hall.
Batey, Ian. 2003. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lwin, May dan Jim Aitchison. 2005. Clueless In Advertising. Jakarta: BIP.
Roman, Kenneth. 2005. How to Advertise- Membangun Merek dan Bisnis Dalam Dunia Pemasaran Baru. Jakarta: Elex Media Komputindo
.
[*] Rudi Irawanto adalah Dosen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Selasa, 02 Oktober 2007

KREATIF OLOGI

Kamis, 23 Agustus 2007

KAPITALISME BUDAYA DALAM IKLAN LINTAS NEGARA
oleh: Rudi Irawanto[1]


Abstrak


Globalisasi telah memasuki wilayah ekonomi dan kebudayaan. Globalisasi budaya diwujudkan dalam konsep budaya massa, dan mempergunakan saluran media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Konsep global tentang kebudayaan pada praktiknya merupakan upaya sistematis subordinasi terhadap kebudayaan-kebudayaan di luar Barat. Globalisasi perekonomian diwujudkan dalam konsep perdagangan bebas. Beroperasinya konsep liberalisasi perdagangan tersebut pada gilirannya akan melahirkan bazar budaya global konsep dan cita rasa global, mengingat konsep-konsep tentang globalisasi perdagagan berakar pada kepentingan korporasi multinasinal dengan menggunakan media massa sebagai salah satu elemennya. Media massa menjadi media propaganda kepentingan perangkat kapitalis, yang pada praktiknya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan korporasi multinasional. Iklan-iklan lintas negara menjadi salah satu elemen penting dalam proses populerisasi gaya hidup baru yang diciptakan oleh korporasi multinasional tersebut. Proses ini pada hakekatnya merupakan bentuk dari kapitalisme kebudayaan.

Kata Kunci: Globalisasi, Kapitalisme Budaya, Iklan Lintas Negara

Globalisasi merupakan proses pembentukan struktur kebudayaan seragam yang cenderung permisif terhadap penetrasi kekuatan-kekuatan eksternal. Proses ini pada prakteknnya menuntut biaya kultural yang tinggi. Globalisasi senantiasa melegalkan proses hegemoni kekuatan-kekuatan dominatif yang cenderung menindas. Proses globalisasi pada umumnya dilakukan dalam dua cara yaitu melalui proses pemaksaan dan pembujukan (persuasi). Proses pemaksaan lebih sering dijumpai pada situasi pelanggenggan kekuasaan secara politis dan sosial. Proses persuasi lebih banyak dijumpai pada aplikasi kebijakan dalam ranah sosiobudaya maupun ekonomi.
Praktik-praktik hegemoni tidak hanya dilakukan oleh perangkat kekuasaan negara, tetapi juga oleh korporasi multinasional yang lepas dari batasan wilayah geopolitis. Korporasi multinasional menjadi perwujudan kekuatan baru yang menggantikan peran dan dominasi negara. Sistem kekuasaan korporasi multinasional tidak disalurkan secara represif, tetapi diwujudkan dalam bentuk propaganda budaya konsumerisme. Keberadaan korporasi multinasional yang melakukan desentralisasi dengan memindahkan pusat pengendalian wilayahnya ke wilayah lokal, pada gilirannya mendorong percepatan universalisme budaya dan membentuk cita rasa global (global taste).
Kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional disalurkan melalui kampanye periklanan lintas negara. Bentuk periklanan lintas negara (baik yang bersifat global maupun regional) menjadi salah satu wahana untuk membentuk bazar budaya global (the global cultural bazaar) dan cita rasa global (global taste). Bazar budaya global pada hakekatnya merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang besar. Bazar budaya global merupakan istilah dari Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa dan citra budaya Barat ke seluruh penjuru dunia ( Hadiwinata, 2001).
Bazar budaya global dikampanyekan melalui proses persuai yang sistematis. Kegiatan pemasaran dan periklanan lintas negara yang agresif berperan besar dalam membentuk satu cita rasa global (global taste) tersebut. Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi kuat penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu penanda modernisasi.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan. Konsep-konsep pemasaran global menawarkan sebuah cita rasa global, yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip setempat (lokal). Iklan lintas negara menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global dan menjadi bagian dalam sistem perputaran kapital baik secara ekonomi maupun kebudayaan (culture capital).

Kontradiksi Kultur Global

Globalisasi mulai mengemuka semenjak tahun 1960-an, pada saat industrialisasi memasuki wilayah-wilayah kebudayaan yang melahirkan kelompok-kelompok kelas menengah baru. Penetrasi industri dalam wilayah kebudayaan sebenarnya telah terjadi semenjak akhir abad ke-19. Fenomena tersebut telah melahirkan formulasi budaya massa, merupakan sebuah produk kebudayaan yang dibingkai dengan kepentingan industrialisasi. Karakter budaya massa menggiring pada semangat konsumerisme yang dimotori oleh keberadaan fasilitas modern yang serba instan. Kebudayaan tidak dilihat sebagai himpunan artefak yang sarat norma dan etika, tetapi menjadi perwujudan semangat modernisme yang dikemas dalam bentuk tindakan dan tanda-tanda konsumtif.
Komersialisi kebudayaan yang menyuburkan fenomena budaya massa (mass culture) senantiasa berpijak pada selera massa dengan meletakkan selera “Amerikanisme” sebagai tolok ukur. Budaya massa menuntut keseragaman dalam selera dan cita rasa, menumbuhkan sifat konsumerisme, yang mempergunakan kriteria dan standart modernisasi (baru) yang terlepas dari aspek makna dan nilai-nilai konvensional. Budaya massa merupakan salah satu bentuk dari budaya satu dimensi (one dimensional culture), merupakan kebudayaan yang dibentuk oleh dimensi materi, tanda, permukaan, dan imanensi semata (Pilliang, 2001).
Bentuk budaya baru, misalnya dalam pola budaya satu dimensi, menempatkan nilai-nilai baru yang sebagian besar bersumber dari Barat dan cenderung mengabaikan norma-norma tradisional (Timur). Nilai-nilai budaya tradisonal yang menghasilkan corak kebudayaan yang sarat dengan aspek refleksi (reflection), aspek perenungan diri (self criticism), dan dimensi pengendapan (sublation) menjadi terabaikan (Pilliang, 2001). Walaupun nilai-nilai baru yang ditawarkan budaya global merupakan reaksi terhadap budaya tradisional pada umumnya, tetapi kesan yang melihat nilai-nilai baru bersumber dari nilai-nilai Barat tidak dapat dihindari. Nilai-nilai Barat tetap menjadi panutan dan menjadi penyumbang terbesar dalam culture capital. Prinsip ini secara perlahan dan sistematis berupaya membunuh karakter budaya di luar Barat.
Fenomena bazar budaya global (the global cultural bazaar), senantiasa menempatkan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut ditandai dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi baru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status.
Appadurai, seorang postkolonialis dari India, dalam bahasannya tentang globalisasi menguraikan 5 gejala global culture, yang pada prinsipnya memperlihatkan dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ke tiga. Negara-negara berkembang diposisikan sebagai konsumen yang senantiasa melihat barat sebagai indikator setiap kemajuan. Kemajuan diidentikan dengan kesuksesan dalam pencapaian stabilisasi perekonomian. Premis fundamental modernisme ini sebenarnya berpangkal pada ideologi idealisme kapitalisme industri, yang percaya bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan membangun sebuah orde Baru. Orde yang mengarah pada gejala universalisme kebudayaan.
Budaya global sebagaimana yang diungkap oleh Appadurai dapat dilihat sebagi bentuk imperialisme baru dengan menempatkan media massa sebagai kendaraan yang efektif. Kedudukan media massa sebagai bagian dari proses marginalisasi budaya diluar Barat diungkapkan lebih lanjut oleh Akbar S. Ahmed (1993). Ahmed mengguggat peran media massa modern yang cenderung memarginalisasi asumsi-asumsi tradisional, khususnya Islam. Media massa modern dipandang sebagai pencetus hegemoni nilai-nilai kebudayaan Amerika, yang secara vulgar senantiasa mengambarkan secara salah konsep-konsep kebijakan tradisional Timur.
Nilai-nilai Barat tetap menjadi rujukan dalam penyebaran nilai-nilai global. Berkaitan dengan hal tersebut, Gouldner mengungkapkan bahwa sebuah nilai dapat diterima secara global bila memiliki tingkat rasionalitas dan historisitas yang tinggi (Hadiwinata, 2001). Konsep ini melihat rasionalitas dapat diterima secara global bila terbebas dari pengaruh agama atau kepercayaan tertentu, bersifat kontekstual atau dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif. Berisifat historis bila nilai-nilai tersebut telah terdokumentasi dengan baik. Berangkat dari kerangka pikir tersebut, dapat dilihat hanya nilai-nilai dari Barat yang relevan.
Media Massa pada perkembangannya tidak semata-mata berperan sebagi pembentuk jaringan ideologi dan fakta-fakta untuk merepresentasikan realitas, tetapi juga telah mereproduksi realitas. Kekuatan media ditunjukkan dengan fenomena realitas-realitas semu yang lebih cepat diterima masyarakat dari pada realitas sebenarnya. Realitas semu yang ditawarkan media massa berperan dalam menanamkan hegemoni kebudayaan Amerika (Barat), sehingga konsep-konsep dan ideologi Barat memperoleh legitimasi. Pada konteks ini media berperan sebagai katalisator pertukaran nilai tanda-tanda komoditi dalam sistem kapitalisme lanjut.
Media massa (Barat) sering dilihat sebagai bagian dari proses imperialisme baru. Proses ini melihat media sebagai bagian dari pola subordinasi dan eksploitasi pada kelompok-kelompok marginal (negara dunia ketiga). Fenomena ini diutarakan oleh Edward Said sebagai bentuk imperialisme budaya (1993). Imperilisme yang cenderung dilakukan oleh kekuatan dominan Barat terhadap Timur. Proses imperialisme budaya pada praktiknya lebih sering terjadi pada struktur budaya yang pernah mengalami sistem kolonialisasi dan imperialisme. Proses kolonialsiasi dan imperialisme yang telah terjadi menciptakan kondisi traumatik yang berkepanjangan. Struktur kebudayaan baru yang hendak dibangun masih dibayangi oleh ketakutan terhadap masa lalu, sehingga relatif rentan terhadap penetrasi budaya dari luar (Gandhi, 2001).
Kuatnya hegemoni budaya Barat terhadap struktur budaya negara-negara dunia ketiga selain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi pasca perang dunia II, juga didorong oleh sifat negara-negara tersebut, khususnya di Asia yang cenderung semi feodal dan semi kapitalis. Roxborough (1986) melihat terjadinya kerancuan ideologis dan masa transisi yang menyebabkan negara-negara non Barat tertinggal secara ekonomi dan ideologi. Pertemuan antara sektor tradisonal dan modern negara-negara non barat cenderung menimbulkan penghisapan terhadap sektor-sektor yang lebih lemah. Pada konteks ini sektor-sektor tradisional menjadi terbelakang, tidak terdapat kesinambungan yang konsisten antara kedua sektor tersebut.
Media massa dalam konteks budaya global berupaya mengusung ideologi dan ide-ide pencerahan Barat ke negara-negara dunia ketiga, yang pada gilirannya akan menggeser prinsip-prinsip kebijakan tradisional setempat. Fenomena ini yang sejak semula membuahkan kontradiksi, utamanya kontradiksi kultural antara Barat dan Timur. Paradigma kosmologi Barat diletakkan pada unsur keraguan dalam menyikapi perkembangan, sedangkan kosmologi Timur ditentukan oleh keyakinan akan kepastian terhadap segala sesuatu. Konsep-konsep kebajikan Timur senantiasa dikembangkan pada nilai-nilai teologis, berbeda dengan Barat yang menjadikan kemampuan akal budi sebagai titik pusat segala pengetahuan. Perbedaan paradigma tersebut yang kerap melahirkan paradoks dan kontradiksi. Posisi hegemoni Barat dalam struktur kebudayaan dunia selain disebabkan oleh lemahnya struktur kebudayaan Timur, juga ditunjang dengan sifat budaya Barat, utamanya pada pasca renaisans, yang cenderung sekuler.

Kapitalisme Ekonomi dan Media

Penerapan paham kapitalisme diyakini sebagai kunci penyelesaiaan segenap persoalan perekonomian, utamanya pada negara-negara dunia ketiga. Konsep kapitalisme bagi para penganutnya merupakan salah satu pembenaran dalam teori Social Darwinism dari Herbert Spencer (Lamm, 1988). Sebuah paham yang melegitimasi konsep “saling menangsa” dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Kapitalisme dan globalisasi merupakan satu mata rantai yang saling terkait. Globalisasi yang bermula dari manufaktur, perdagangan dan akhirnya pada sektor jasa, merupakan rangkain konsep dalam kapitalisme lanjut (advanced capitalism). Globalisasi setidaknya mencakup 3 hal, yaitu kapitalisme lanjut (advanced capitalism), budaya postmodernisme (postmodern culture), dan budaya cyberspace (cyber culture) (Pilliang, 2001).
Fenomena kapitalisme pada perkembangannya banyak mendapat kritikan, tidak terkecuali dari para pemikir Barat itu sendiri. Kubu marxis melihat kapitalisme sebagai sistem yang kehilangan rasa kemanusiaan. Kapitalisme tidak semata-mata beroperasi dalam relasi ekonomi, tepai telah menciptakan relasi budaya dominan dan subordinatif. Marx melihat dalam struktur masyarakat kapitalis memungkinkan sebuah budaya dominan dijadikan standar yang dianut dalam struktur masyarakat tersebut. Proses ini yang disinyalir oleh Antonio Gramsci, seorang penganut filsafat praxis, sebagai bentuk hegemonik kultural, merupakan bentuk penyerahan struktur kebudayaan tertentu dalam kekangan kebudayaan dominan.
Pada paparan yang lain, Gramsci melihat kapitalisme sebagai sistem yang secara struktural menempatkan kekerasan tidak hanya pada dimensi perangkat-perangkat ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga pada tingkat hegemoni idiologis. Sistem kapitalisme membangun kelas penguasa, sehingga keberadaannya memperoleh legitimasi ideologis. Kekawatiran serupa diungkapkan oleh Emile Durkheim, yang melihat kapitalisme sebagai salah satu pemicu pribadi-pribadi egois yang secara sistematis mulai tercabut dari akar sosialnya. Sosok kapitalis di mata Durkeim berada pada tepi jurang kehancuran yang siap menghacurkan individu-individu dalam kehidupan industri yang tidak memiliki pegangan hidup. Kritik terhadap kapitalisme pada prinsipnya merupakan oto kritik terhadap wilayah kebudayaan Barat itu sendiri. Hossein Nasr (2001) seorang cendekiawan muslim di luar Barat, melihat bahwa peradaban Barat telah mengalamai krisis metafisis, sehingga diperlukan kembali penggalian prinsip-prinsip kearifan tradisional.
Globalisasi ekonomi, salah satu bentuknya tertuang dalam konsep liberalisasi perdagangangan. Proses liberalisasi ini memaksa negara-negera tertentu berpartisipasi dalam kesepakatan perdagangan global maupun regional. Konsep perdagangan bebas yang tidak mengenal batasan-batasan politis dan nasionalisme. Konsep perdagangan bebas pada hakekatnya ditawarkan oleh kekuatan-kekuatan multinasional yang secara finansial sulit tertandingi oleh kekuatan lokal.
Kapitalisme ekonomi sesungguhnya penuh dengan kontradiksi struktural. Sistem ini membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang mulai mengingkari eksistensinya, yang pada gilirannya menghasilkan resistensi sosio kultural. Liberalisasi perdagangan, sebagai contoh, lebih banyak membuahkan kesenjangan dari pada proses pemerataan ekonomi sebagaimana yang digagas semula (Hadiwinata, 2001). Pada praktiknya kekuatan yang sanggup bertahan di era perdagangan bebas hanyalah kekuatan-kekuatan transnasional yang memiliki akses kuat untuk menguasai pasar.
Ide membuka kesempatan lebar dan setara untuk memicu persaingan bebas dalam sektor perdagangan di era liberalisasi perdagangan lebih bermakna politis yang sarat dengan motivasi idiologis, daripada dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Proses ini pada praktiknya menunjukkan ketangguhan dominasi kekuatan multinasional, yang disalurkan melalui proses marginalisasi kekuatan perekonomian lokal. Fenomana pengambilalihan beberapa perusahaan lokal oleh kekuatan multinasional, mengidikasikan menyerahanya kekuatan ekonomi nasional dalam cengkeraman kekuatan multinasional tersebut. Proses globalisasi senantiasa memunculkan kekuatan dominatif dalam segala bentuknya. Kekuatan dominatif tersebut beroperasi dibalik idiologi tertentu, yang pada gilirannya melahirkan struktur masyarakat yang konsumtif dan cenderung bebas nilai, sebagaimana yang tergambar dalam fenomena shoping mall.
Appadurai (dalam Malik, 1993) mengungkapkan bahwa proses infiltrasi globalisasi pada negara-negara pinggiran (di luar Barat) semakin tajam melalui keberadaan media massa sebagai alat untuk memanipulasi fakta-fakta. Ideologi pencerahan Barat yang beroperasi dibalik jaringan media massa memperoleh saluran legal. Media menyebarkan manipulasi pesan yang memuat isyu-isyu tentang kapitalisme, imperilisme budaya, dominasi budaya, hingga homogenisasi budaya yang tidak mampu dilawan oleh media lokal. Fenomena mediascapes, yaitu melimpahnya arus informasi melalui media keseluruh dunia merupakan salah satu gejala dari globalisasi, yang pada gilirannya menjadikan gaya hidup serba Amerika sebagai panutan.
Proses penyebaran gaya hidup yang diciptakan oleh media menujukkan kekuatan media sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial. Gaya hidup diciptakan sebagai bagian dari perangkap ekonomi kapitalis. Kapitalisme ekonomi memerlukan dukungan kultural untuk menjalankan misinya. Pada kontek tersebut media massa berperan sebagai bagian dari proses pembentuk konstruksi sosial.
Teori triple M menyiratkan hubungan kausalitas antara terbentuknya budaya massa yang mengakar pada kapitalisme global, dengan media massa yang melakukan penetrasi pada masyarakat massa (Mowlana, 1993). Teori ini mengandaikan hubungan signifikan antara peran media massa (mass media) pada masyarakat massa (mass society) dan budaya massa (mass culture), dalam membentuk suatu struktur kebudayaan. Teori ini menyakini bahwa meningkatnya industrialisai dan urbanisasi, monopoli budaya tradisional yang berkiblat pada kalangan aristrokrat dihancurkan oleh budaya rakyat (folk culture) (Mowlana, 1993). Budaya rakyat merupakan kumpulan budaya yang berpusat satu bentuk komunikasi oleh sekelompok golongan tertentu yang berbeda dan dipersatukan oleh nilai-nilai dan kepentingan tertentu. Budaya massa acap kali digunakan sebagai penanda kontradiksi dalam sistematika kebudayaan yang cenderung diskriminatif tersebut. Kategorisasi tersebut diantaranya kontradiksi konsep high culture dengan populer culture, highbrow dengan lowbow, atau kontradiksi antara avant-garde dengan kitsch. Konsep tentang budaya massa sebagi produk kapitalisme dan diluncurkan oleh kekuatan industri senatiasa melibatkan media massa sebagai salah satu elemen utamanya.
Bagi para penganut teori ekonomi politik, yang sebagin besar berasal dari kalangan neo-marxis, menolak peranan total media massa dalam membentuk konstruksi sosial. Media massa semata-mata dianggap tidak memiliki kekuatan memadahi untuk menghasilkan sosok utuh budaya massa yang berkiblat pada kepentingan kapitalisme. Media massa dinilai sebagai saluran yang membawa berbagai muatan budaya, dan di dalamnya hanya memuat sebagian asumsi tentang karakter massa. Sebuah budaya massa hanya dapat terbentuk bila struktur kehidupan sosial suatu masyarakat telah memiliki kondisi yang cukup untuk menerima bentuk budaya yang seragam (uniform).

Saluran Globalisasi dan Kapitalisme

Konsep periklanan lintas negara mewujudkan ide-idenya melalui bentuk-bentuk iklan yang cenderung bebas nilai. Konsep ini mencoba mentrasformasi fenomena permainan rasa (passion game) dalam ide-ide periklanannya. Passion game merupakan upaya mempermainkan perasaan masyarakat untuk mendukung kelangsungan sebuah sistem budaya dominan (Said, 1994). Sistem budaya dominan dalam era global cenderung mengarah pada bentuk kebudayaan yang berkiblat pada kepentingan korporasi multinasional.
Kebudayaan dominan tidak selalu mengarah pada satu sistem budaya elit Barat semata-mata. Kebudayaan dominan dalam era global lebih berbentuk budaya massa yang tidak memiliki akar pada kebudayaan elit. Budaya massa tidak lahir dari konstruksi budaya aristokrat, tetapi dilahirkan oleh penetrasi industri dan media dalam struktur kebudayaan rakyat (folk culture). Fokl culture dilahirkan oleh penyatuan kepentingan dan mempergunakan media sebagai katalisatornya. Kepentingan-kepentingan media dan korporasi multinasional relatif lebih mudah masuk dalam jaringan kebudayaan ini. Kebudayaan rakyat tidak memiliki pijakan yang kokoh, sehingga memudahkan penetrasi karakter massa yang ditopang oleh penyatuan kepentingan temporer. Kondisi tersebut menyebabkan karakter folk culture memiliki siklus hidup yang relatif pendek.
Periklanan lintas negara dibangun berdasarkan sikap membuka diri terhadap karakter budaya massa yang tidak memiliki wilayah geografis formal. Analisa semiotika pada iklan global menunjukan kedekatan hubungannya antara pola konsumerisme yang tertuang dalam manifestasi gaya hidup dengan pergeseran penafsiran terhadap tanda-tanda yang menjadi ciri gaya hidup tersebut. Budaya massa membangun dirinya bersandar pada kepentingan masyarakat massa. Fleksibilitas tersebut menciptakan karakter budaya yang sangat longgar dan rentan terhadap nilai-nilai baru.
Nilai-nilai baru hanya dapat tersalurkan dengan cepat pada struktur kebudayaan yang cenderung sekuler. Pada tataran ini dapat dilihat kedekatan fenomena budaya massa dengan konsep kebudayan Barat yang cenderung sekuler. Penyebaran budaya massa sebagai salah satu imbas dari globalisasi sering kali dilihat sebagai upaya “westernisasi”, walaupun karakter budaya massa tidak sepenuhnya menjadikan Barat sebagai acuan.
Karakter budaya massa sebagai salah satu tema dalam periklanan lintas negara, utamanya pada tema-tema iklan global, pada prinsipnya merupakan upaya mencari satu titik temu dari berbagai karakter budaya lokal yang beragam. Budaya lokal dalam konteks ini dipahami sebagai bentuk kebudayaan tradisional yang bermuara pada kriteria elitis aristokrasi setempat. Budaya massa seperti halnya pada bentuk-bentuk populer menempatkan selera publik sebagai acuan. Selera dominan menjadi panutan, yang pada gilirannya menjadikannya kriteria acuan yang cenderung mengabaikan protes dan tututan kritis (Defleur, 1993).
Iklan dari pihak korporasi multinasional cenderung menggeser asumsi-asumsi tradisional. Pesan verbal maupun visual dari iklan lintas negara menjadi perpanjangan tangan sistem pertukaran nilai, yang menggiring penikmatnya (audiens) pada satu selera. Selera yang dibangun dalam periklanan lintas negara bermuara pada pembebasan hasrat dari kekangan aturan-aturan tradisional. Fenomena shopping maall, sebagai contoh, berangkat dari asumsi yang meletakan simbol-simbol modernitas pada tataran yang lebih tinggi dibandingkan simbol status konvensional. Nilai-nilai normatif diletakkan pada level kepemilikan terhadap benda-benda. Pada tataran ini fungsi benda dipertukarkan dengan fungsi tanda yang dibawa benda tersebut. Nilai fungsi (utilitas) termarginalisasi oleh citra yang diciptakan. Kampanye gaya hidup yang mengarah pada situasi global culture bazaar tersebut, dijalankan secara sistematis.
Respon terhadap iklan lintas negara menjadi sangat beragam, pada saat iklan menjadi mediasi penyebaran budaya massa atau budaya populer, yang dirasakan mengancam eksistensi ekspresi budaya tradisional. Ancaman budaya massa tidak terletak dari kemampuannya untuk merusak hierarki struktur kebudayaan yang telah mapan, tetapi terletak pada kemampuannya untuk menawarkan nilai-nilai baru yang tidak permanen. Sekulerisme yang menjadi salah satu aspek dalam struktur budaya massa, pada hakekatnya merupakan bentuk penentangan terhadap kebekuan pola normatif dari sebuah budaya, utamanya pada ekspresi kebudayaan di luar Barat.
Kekuatan iklan terletak pada kemampuannya untuk memberikan citra tertentu pada sebuah produk (Jefkin, 1997). Melalui citra-citra yang terbentuk produk-produk memiliki kekuatan untuk membangun status sosialnya. Situasi tersebut diperlukan mengingat produk-produk tidak menawarkan utilitas tetapi menawarkan status sosial. Gaya hidup dalam global culture bazaar lebih mementingkan jalinan citra-citra daripada aspek fungsional. Iklan lintas negara berupaya mewujudkan citra-citra tersebut melalui komoditi yang ditawarkannya. Komoditi global tidak mengemban nilai-nilai normatif, tetapi membentuk kelompok nilai-nilai baru yang berpusat pada dimensi hasrat (desire).
Fenomena iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, sebagai mediasi cita rasa global pada praktiknya membuahkan respon yang beragam. Kaum neo-maxis melihat bahwa periklanan global tidak menjadi satu-satunya faktor yang mendorong percepatan globalisasi dalam membentuk cita rasa global. Kalangan neo-marxis mencoba mencari pendekatan baru dalam melihat relasi antara produksi dan konsumsi ini. Kampanye tentang kapitalisme yang secara ekplisit disalurkan melalui media periklanan global, tidak memperoleh hasil yang memuaskan bila secara struktural masyarakat tidak siap menerimanya. Masyarakat dapat dengan cepat merespon pesan-pesan kapitalis yang tertuang dalam sektor populer, diakibatkan oleh situasi bergantungnya struktur budaya masyarakat tersebut pada sistem pasar, organisasi supra-personal, dan pada teknologi. Situasi ini menyebabkan seorang individu tidak mungkin melakukan isolasi dari aktivitas sosial dan produksi yang tengah terjadi. Pada konteks tersebut sektor-sektor populer memperoleh saluran yang tepat.
Terlepas dari respon yang beragam terhadap keberadaan iklan lintas negara, pada praktiknya memperlihatkan hubungan yang signifikan antara keberaan iklan sebagai pembentuk jalinan gaya hidup tertentu. Celia Lury (1998: 88) mengungkapkan bahwa iklan merupakan bagian penting dalam pembentukan gaya hidup. Iklan menjadi alat produsen untuk memanipulasi konsumen, dalam menciptakan kebutuhan artifisial. Pada akhir penjelasannya Lury melihat bahwa praktik-praktik periklan telah menciptakan ruang untuk merefleksikan gaya hidup.
Gaya hidup merupakan salah satu elemen dalam budaya Shoping mall di era global, yang didalamnya lebih menawarkan kebutuhan artifisial dan menonjolkan aspek bentuk daripada isi.
Penutup

Fenomena periklanan lintas negara senantiasa berkaitan dengan beroperasinya ideologi-idiologi konsumerisme. Iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, menawarkan nilai-nilai baru yang berkiblat pada struktur budaya massa. Iklan lintas negara walaupun menerapkan konsep-konsep Barat sebagai acuan, tetapi tidak dapat dilihat sebagai upaya westernisasi semata-mata.
Daftar Rujukan

Ahmed, Akbar S. 1993. Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Budimana, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Defleur, Mervin L dan Dennis, Everette. 1993. Perdebatan Mengenai Budaya Masaa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Hadiwinata, Bob S. 2001. Globalisasi Kultural dan Peran Perguruan Tinggi Berbasis Seni. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1996. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: Prehallindo.
Laam, Robert C (ed). 1988. The Humanities in Western Culture A Search for Human Value. Iowa: Wm C. Publishers.
Larain, Jorge. 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Malik, Dedy Jamaluddin. 1993. Pengantar Komunikasi dan Budaya Massa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mowlana, Hamid dan Wilson, Laurie J. 1993. Budaya Masyarakat dan Komunikasi. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Islam dan Krisis Lingkungan. Dalam Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam No. 3 Januari-Maret 1994. Bandung: Mizan.
Pilliang, Yasraf A. 2001. Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya terhadap Tatanilai Seni Rupa. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Roxborough, Ian. 1986. Teori-teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES.
Said, Edward. 1993. Kebudayaan dan Kekuasaan Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan.










[1] Rudi Irawanto. Dosen Jurusan Seni dan Desain- Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang.

Senin, 20 Agustus 2007

Rabu, 08 Agustus 2007

Desain

PRODUK GLOBAL DALAM WACANA LOKALITAS IKLAN GLOBAL

Oleh: Rudi Irawanto*


Globalisasi menjadi isyu yang paling menarik pada penghujung abad ke-20. Fenomena ini telah melahirkan beragam pertanyaan tentang makna globalitas di tengah semakin menguatnya isyu-isyu etnisitas dan sektarian. Globalisasi tidak lagi dimaknai sebagai kaburnya batas teritorial melalui jalur C2 Computer and Comunication, tetapi merupakan petanda takluknya identitas lokal dalam kungkungan kekuatan transnasional. Fenomena ini mengisyaratkan lenyapnya otoritas lokal dan heterogenitas kultur yang selama ini menjadi faktor penggerak globalitas. Globalisasi setidaknya digerakkan oleh 3 elemen, yaitu kapitalisme lanjut, postmodern, dan cyberspace. Kapitalisme lanjut merujuk pada kekuatan perekonomian, postmodernisme merujuk pada fenomena ekstasi kebudayaan, sedangkan cyberspace merujuk pada kekuatan teknologi. Ketiga elemen tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya, menghasilkan kekuatan budaya baru yang cenderung mengeliminasi karakter budaya-budaya lokal. Wilayah teritorial budaya lokal menjadi tidak jelas, termasuk didalamnya identitas kelompok atau etnis.
Kaburnya batas-batas teritorial, baik secara politis maupun budaya, pada gilirannya akan melahirkan kekuatan-kekuatan hegemoni dalam sektor finansial sampai dengan kultural. Pada intinya batas-batas tentang hal-hal yang dianggap global membuahkan beragam penafsiran. Seperti yang diungkapan Samir Amin, seorang ekonom asal Senegal, globalisasi lebih banyak menghasilkan kontradiksi dan konflik-konfik internal, terutama di negara-negara berkembang, ketimbang mengatasi persoalan-persoalan internal. Pada konteks tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi lokalitas sebagai landasan nasionalisme semakin mengemuka, yang pada ujungnya mencari-cari pihak-pihak yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap hilangnya eksistensi kultur-kultur lokal tersebut.
Iklan sebagai sebuah produk kebudayaan menjadi salah satu pihak yang dinilai memiliki tanggung jawab moral terhadap memudarnya kebanggaan terhadap produk-produk lokal. Pada konteks tersebut produk lokal dilihat sebagai bagain dari eksistensi kultural. Eksistensi sebuah produk dalam iklan tidak semata-mata dipandang sebagai bagian dalam komponen pemasaran. Iklan mampu memanipulasi keberadaan sebuah produk menjadi sarana untuk membentuk citra. Pada konteks ini produk tidak dilihat dari aspek utilitasnya semata-mata, produk dapat menjadi petanda eksistensi diri, kebanggaan, atau prestise.
Iklan menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap fethisisme produk tersebut. Keberhasilan produk-produk global masuk dalam pasar domestik, pada umumnya didorong oleh kekuatan fethis tersebut. Saluran pemasaran global tidak berhenti pada unsur product, price, promotion, dan place, tetapi turut mempertimbang aspek politic dan public, dan unsur psychology dan public relation. Kompleksitas elemen dalam sistem pemasaran global tersebut menjadi petanda bahwa produk-produk global yang dikenalkan melalui iklan-iklan global tidak semata-mata dilandasi kepentingan distribusi, tetapi mampu menjadi alat untuk menyalurkan beragam kepentingan, termasuk kepentingan politik dan kebudayaan.
Selama ini fenomena global selalu dilihat sebagai bentuk penyatuan konsep dan gagasan dalam banyak hal, termasuk didalamnya penyatuan konsep tentang standar norma-norma, gaya hidup, kegiatan budaya, aktifitas sosial, pandangan politik, dan juga parameter-parameter pertumbuhan tingkat perekonomian. Diantara sekian banyak parameter yang ada, kekuatan politik dan ekonomi memperlihatkan dominasinya diantara parameter-parameter lain. Dua kekuatan ini yang dinilai membawa andil terbesar dalam pertumbuhan sebuah negara. Kekuatan politik dicerminkan melalui lahirnya demokrasi liberal, dan kekuatan ekonomi ditandai dengan menjamurnya budaya konsumtif (Hassner, 2002: 24). Lahirnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dalam era global tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk kegiatan dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut eksistensi kekuatan yang beroperasi dibalik sumber-sumber kekuatan tersebut.
Aktivitas-aktivitas sosial, politik, dan budaya yang dijalankan pada era global tidak dapat lepas dari intervensi ekonomi. Evolusi internal negara-negara besar memaksa negara-negara tersebut lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek ekonomi. Praktik kekerasan, melalui jalur politik atau militer, seperti pada dekade pra perang dingin tidak dapat dijalankan (Sestranovich, 2001:12). Pada kondisi tersebut fenomena kapitalisme yang menjadi jantung globalisasi memperoleh legitimasi. Kapitalisme tidak semata-mata menawarkan nilai materiil dan utilitas, tetapi menawarkan citra-citra tertentu yang mampu merubah persepsi orang terhadap benda-benda. Gerakan globalisasi, dari persepsi ekonomi, dapat dilihat sebagai jelmaan neo-liberalisme, sebuah gerakan yang tetap menawarkan konsep liberalisme klasik hanya dalam waktu dan konteks yang berbeda. Neo-liberalisme dicirikan dengan fluktuasi harga-harga yang menjadi petanda eksistensi sebuah produk. Nilai produk tercermin dari besaran harga-harga, sedangkan harga mencerminkan kuantitas dan kualitas produk di pasar, sehingga hukum pasar bebas memperoleh pengakuan (Clements, Kevin P., 1999).
Merek-merek global seperti Mac Donalds,P & G, Gillete, Levi’s, Coca cola, Nike dan sejenisnya, tidak sekadar menawarkan nilai guna tetapi juga gaya hidup. Fenomena tersebut menyebabkan harga yang melekat pada produk global tidak semata-mata berlandaskan pada variabel biaya produksi semata-mata. Harga yang terpancang merupakan cerminan eksistensi gaya hidup yang ditawarkan. Pada kasus ini dapat dilihat bahwa kepentingan ekonomi telah beralih fungsi menjadi saluran-saluran budaya, gaya hidup, norma-norma, dan bahkan politik (Batey, 2002:314). Pada sistem budaya budaya konsumen, konsumsi produk tidak berhenti pada pencarian nilai atau selera, akan tetapi dapat berubah menjadi bentuk tindakan penyamaran (masquerade), peniruan (imitation), dan penggabungan (incorporation) (Lury, 1998:305).
Para pemakai sepatu Nike tidak mewaliki produk Amerika atau menjadi bagian dari Amerikanisme, tetapi merupakan bagian dari sebuah peradaban global dan gaya hidup global. Nike mampu menyamarkan eksistensi diri yang sebenarnya. Kondisi yang sama terjadi ketika seseorang menikmati Mac Donalds atau meminum Coca cola, karakter negara produsen menjadi terpinggirkan, karena yang muncul adalah perasaan partisipatif terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Pada konteks inilah globalisasi menemukan jalan yang leluasa. Secara kebetulan eksistensi produk global diwakili oleh merek-merek impor, khususnya dari Barat, walaupun tidak semua produk impor dapat dikategorikan sebagai produk global.

Citra Produk Global

Sebuah produk untuk menjadi produk global tidak terletak pada sisi impor atau tidaknya, tetapi terbentuk ketika sebuah produk mampu menawarkan nilai-nilai baru yang keluar dari norma-norma konvensional setempat, cenderung lepas dari asumsi-asumsi relegiusitas, bersifat komunikatif dan yang lebih penting tidak berhenti pada fungsi utilitas. Pada intinya sebuah budaya atau produk budaya dapat menjadi global bila setidaknya memiliki 3 unsur, yaitu bersifat rasional, kontekstual dan komunikatif. Rasional dapat diartikan lepas dari unsur agama atau norma-norma tertentu atau bersifat sekuler. Kontekstual berarti dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif berarti dapat dicerna oleh siapa saja.
Pada konteks global pembentuk citra produk menjadi penting. Coca cola menjadi merek global karena mampu mencitrakan produknya sebagai minuman ‘gaya hidup’ yang bukan sekadar minuman pelepas dahaga. Sesuatu yang sulit ditandingi oleh Gatorade, Seven Up, Pocari Sweat, bahkan oleh Mecca Cola.
Citra produk terbentuk salah satunya melalui serangkaian proses komunikasi periklanan yang efektif dan simultan, selain melalui komunikasi PR. Pada konteks tersebut peranan iklan sebagai kegiatan persuasi yang diharapkan mampu membentuk citra-citra menjadi penting. Iklan menjadi salah satu perangkat yang mampu melakukan ‘propaganda’ dan komunikasi secara optimal. Iklan pada hakekatnya melontarkan citra-citra yang di tanam benak konsumen (positioning), sehingga sebuah produk dapat memperoleh status baru.
Iklan untuk produk-produk global tidak hanya berkutat pada aspek utilitas, tetapi berupaya membentuk jaringan makna-makna yang pada gilirannya konsumen diharapkan mengakui bahwa produk tersebut menjadi bagian dari peradaban global. Keberhasilan komunikasi periklanan pada tataran ini ditandai dengan pengakuan bahwa sebuah produk telah menjadi bagian dari suatu gaya hidup dan simbol-simbol global yang keberadaannya dibutuhkan untuk menopang eksistensi diri.

Konsep Iklan Global

Iklan-iklan untuk produk global cenderung bersikap sebagai iklan global. Iklan global merupakan iklan yang secara konsep dibangun lebih inklusif, sehingga relatif mampu ‘diterima’ di tiap negara dan budaya. Iklan global dibangun atas dasar rasionalitas dan mengabaikan sentimen kebangsaan, relegiusitas, atau etnisitas. Nuansa lokal yang tampil pada eksekusi iklan global lebih bersifat sebagai ‘hiasan pemanis’, sehingga konsep yang hendak disampaikan tetap seragam di tiap negara. Pada konteks tersebut iklan global berupaya keluar dari batas-batas kultur dan politis yang cenderung eksklusif. Homogenitas iklan global mencerminkan kesatuan kekuatan pihak–pihak yang beroperasi dibalik iklan-iklan tersebut. Iklan-iklan global pada umumnya dilotarkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs), yang secara politis dan budaya tidak memiliki ikatan ‘formal’ dengan negara-negara tertentu.
Gerakan globalisasi pada prakteknya mendapat banyak dorongan dari korporasi-korporasi transnasional tersebut, yang keberadaannya didukung oleh lembaga-lembaga donor internasional dan mekanismenya diatur dalam struktur organisasi perdagangan global. Eksistensi korporasi transnasional tercermin dari semakin kuatnya penetrasi merek-merek global dalam wilayah lokal. Hadirnya merek-merek global senantiasa disertai dengan kegiatan promosi yang sistematis, sehingga mampu membentuk jalinan gaya hidup tertentu yang berpatokan pada standar-standar global yang cenderung homogen.
Gaya hidup baru yang menempatkan produk-produk global sebagai simbol eksistensi diri dan status sosial disinyalir merupakan salah satu petanda lahirnya bazar budaya global (the global cultural bazaar). Bazar budaya global merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis, dan tersebar secara cepat melalui tangan-tangan media massa. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi transnasional yang memiliki kemampuan finansial yang relatif besar, sehingga mampu memarginalisasi nilai-nilai lokal.
Bazar budaya global merupakan istilah dari Barnet dan Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa (makanan, minuman, musik, dll) dan citra budaya (acara televisi, berita, radio, permainan, dll) ‘Barat’ ke seluruh penjuru dunia. Gejala tersebut dapat dilihat dari menjamurnya gerai-gerai ‘impor’ dan supermaket-supermarket global dengan segala fasilitas modern di dalamnya yang semakin mendesak gerai-gerai dan produk-produk lokal. Kondisi ini berakibat semakin kuatnya persepsi negatif terhadap karya bangsa sendiri dan semakin mengkristalnya konsep-konsep Barat sebagai panutan.
Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi lain penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu petanda modernisasi. Mall-mall menggantikan fungsi pasar-pasar tradisonal, karena kegiatan berbelanja tidak hanya sekadar membeli barang-barang tetapi bagian dari aktivitas relaksasi dan menunjukkan identitas diri. Melalui mal-mall fasilitas modern yang menopang kemudahan belanja mampu dihadirkan secara lebih sempurna. Kegiatan periklanan yang gencar mampu menjaring ribuan kawula muda di berbagai negara larut dalam lalu lintas konsumerisme produk-produk global.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan yang dibangun oleh korporasi transnasional tersebut. Modal besar dan jaringan pemasaran yang luas mampu membentuk satu jaringan kebudayaan global dan mampu ‘mempersatukan’ cita rasa seluruh kawula muda di dunia. Iklan global menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global tersebut, yang kemudian menjadi bagian dalam sebuah sistem perputaran kapital (culture capital).
Fenomena bazar budaya global, senantiasa menempatkan kemajuan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut tampak dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi terbaru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang diduga memicu hilangnya semangat lokalitas sebagai pijakan nasionalisme dan semangat kebangsaan.

Iklan Global dalam Bingkai Lokal

Ekuitas merek-merek global dalam situasi bazar budaya global, secara teknik sulit ditandingi merek-merek lokal. Kondisi ini menyebabkan ruang gerak iklan global lebih leluasa. Tindakan yang mungkin dilakukan sebatas memberikan atribut-atribut lokal sebagai petanda masih adanya ‘nasionalisme’ dalam diri kreator iklan. Nasionalisme dalam iklan terbangun bila konsep yang dilontarkan dapat diterima tanpa prasangka, dan dengan eksekusi visual yang tetap menempatkan nuasa-nuansa lokalitas sebagai acuan. Fenomena tersebut dapat dilihat dalam konsep promosi dari MTV (Kotler, 1998:327).
Dimensi lokalitas tidak berhenti pada karakter produk dengan menggunakan ‘embel-embel’ lokal, tetapi tercermin dari konsep dan eksekusi yang mampu menanamkan konsep-konsep budaya lokal yang lebih membumi. Prinsip ‘nasionalisme’ ini tidak diterjemahkan sebagai bentuk penolakan terhadap globalisasi, tetapi merupakan tindakan tidak menerima konsep-konsep global secara penuh dan tanpa koreksi (Bantey, 2002). Gejala tersebut dapat dilihat pada iklan-iklan yang menjuarai festival iklan Chanes Lion atau dalam ajang AdFest dalam lingkup Asia Fasifik. Kreativitas iklan-iklan non Eropa menunjukkan upaya kuat melakukan ‘counter’ terhadap konsep-konsep global yang cenderung homogen. Iklan-iklan Asia lebih banyak mengekploitasi karakter budaya Asia. Pada wilayah-wilayah tertentu produk-produk global tidak lagi dipandang dan ditempatkan sebagai salah satu simbol gaya hidup yang selalu dan perlu diagungkan. Budaya-budaya lokal pada wilayah-wilayah yang lebih luas, misalnya China, India, atau kawasan Eropa Timur, semangat menentang pengaruh Barat lebih terasa. Produk-produk dengan nuansa lokal mampu bersaing dengan produk global dengan lebih baik (Batey,2002: 299).
Gejala di sebagian besar wilayah Asia menunjukkan bahwa produk-produk global tetap diterima sebagai sebuah kewajaran.. Iklan-iklan pun tidak lagi berbicara mewakili subjektivitas korporasi transnasional, tetapi melihat produk global dari sudut pandang lokal.
Produk global pada gilirannya berupaya membidik pangsa pasar lokal dengan menampilkan atribut-atribut lokalitas. Fenomena ini merupakan upaya menanamkan konsep global secara sistematis dalam saluran-saluran lokal. Konsep-konsep global yang disalurkan diantaranya melalui produk-produk global dengan cita rasa lokal dapat dilihat sebagai upaya peleyapan batas-batas kultural secara sistematis. Pada konteks ini peran iklan sebagai pihak yang berkepentingan dalam saluran promosi menjadi penting. Iklan untuk produk global diharapkan mampu menjadi penyeimbang terhadap penetrasi produk global dalam pasar lokal, sehingga nilai lokalitas yang dituangkan dalam iklan global tidak mengakibatkan produk lokal kehilangan eksistensi.

DAFTAR RUJUKAN

Batey, Ian. 2002. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Clement, Kevin P. 1999. Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, Philip. 1998. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Prenhallindo.
Kristol, Irving, Hassner, Piere, dan Sestanovich, Stephen. 2001. Memotret Kanan Baru Tanggapan Atas The End of History Fukuyama. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor.
Ries, Al dan Jack Trout. 2002. Positioning The Battle for Your Mind. Jakarta: Salemba Empat.
Ries, Al dan Ries, Laura. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga.
Trout, Jack. 2001. Big Brand Big Trouble. Jakarta: Erlangga.


PRODUK GLOBAL DALAM WACANA LOKALITAS IKLAN GLOBAL





MAKALAH
Disampaikan dalam Seminar Jurusan Seni dan Desain
Tanggal 27 Mei 2004




Oleh:
Rudi Irawanto
NIP. 132282572















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SENI DAN DESAIN
Mei 2004
* Rudi Irawanto, dosen Jurusan Seni dan Desain FS - UM

DESAIN MODERN

LAHIRNYA DESAIN MODERN DITINJAU DARI SUDUT PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
oleh: Rudi Irawanto·

Abstrak
Desain modern merupakan bentuk pemecahan masalah yang dihasilkan dari pengendapan berbagai bidang ilmu dan teknologi. Peranan ilmu pengetahuan modern dalam desain bersumber pada capaian kemajuan metode berfikir yang menempatkan manusia sebagai subjek dan meletakkan rasionalitas sebagai tumpuan pemecahan setiap persoalan. Desain modern pada hakekatnya merupakan bentuk pemecahan masalah yang bersumber pada logika dan rasionalitas yang memperhatikan semangat zaman yang tengah terjadi. Kelahiran desain modern tidak semata-mata disebabkan penetrasi teknologi dan industri dalam dunia desain, akan tetapi merupakan upaya penyatuan berbagai latar belakang ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkesinambungan.

Kata kunci: Desain modern, Ilmu pengetahuan


Pada umumnya pembabakan sejarah desain modern dapat dikategorikan dalam 3 tahap perkembangan. Pertama masa proto modern, masa modern, dan masa post modern. Pembabakan sejarah desain tersebut lebih didasarkan pada penetrasi desain dalam sektor industri dan tingkatan peranan ilmu dan teknologi pada dunia desain. Istilah desain modern mulai mengemuka semenjak tahun 1900-an. Pada masa tersebut, yaitu antara tahun 1900-1917, merupakan masa proto modernisme. Proto modernisme atau modernisme dalam tataran awal merupakan akibat panjang dari timbulnya revolusi industri di tahun 1800, yang menghasilkan mesin-mesin pada sektor perindustrian yang pada gilirannya membuahkan praktik produksi dan konsumsi massa di era selanjutnya. Pada tahun 1918 desain modern yang berbasis pada teknologi dan ilmu pengetahuandapat dikatakan mulai berkembang.

Terlepas dari babak pembagian kesejarahan tersebut, kelahiran desain modern dapat ditelusuri dari pencapaian-pencapaian kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menjadi pijakan perkembangannya. Hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu pengetahuan merupakan refleksi dari perkembangan pola fikir manusia, yang menempatkan manusia sebagai subjek di alam dan pelaku utama perubahan-perubahan yang terjadi. Penelusuran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern dapat dimulai dari penggalian metode-metode berfikir yang telah diajarkan oleh para filsuf Yunani.

Ajaran-ajaran yang dilontarkan oleh para pemikir masa Yunani merupakan akar dari ilmu pengetahuan modern, walaupun konsep yang dibentuknya masih dalam lingkup filosofi. Alam pikir Yunani telah menempatkan manusia sebagai subjek di alam dan menempatkan rasionalitas sebagai pijakan dalam menjawab setiap permasalahan yang muncul. Kelebihan dari metoda berfikir yang pernah diajarkan Plato, Aristoteles, Archimedes, serta Descartes digali kembali pada masa Renaisans pada abad ke-16. Masa Renaisans inilah yang pada hakekatnya merupakan penghidupan kembali keagungan-keagungan masa Yunani dan Romawi, yang menjadi titik awal kebangkitan Barat. Pada konteks yang lebih kecil masa Renaisans merupakan kebangkitan rasionalitas dan logika, yang menjadi dasar ilmu pengetahuan modern pada umumnya.

Pemikiran Masa Yunani dan Relevansinya dengan Desain Modern

Motode berfikir pada masa Yunani merupakan titik mula metode berfikir secara rasional, khususnya di Barat (Eropa). Fenomena ini sejalan dengan cara berfikir desain modern, yang salah satunya mengutamakan cara berfikir, rasional, logis, serta berorientasi pada hasil akhir. Desain dalam konteks modernisme tidak berpijak semata-mata pada intuisi dan standar pribadi yang cenderung subjektif.

Tokoh pertama yang mengajarkan metode berfikir rasional adalah Sokrates (470-339 SM). Sokrates bekerja dengan mengembangkan dan mempratekkan metodologinya dalam mencapai kebenaran yang menurutnya relatif, dengan jalan mengajukan pertanyaan kepada setiap orang yang ditemuinya. Secara umum metode berfikir Sokrates disebut teknik Maeutik, yaitu metode induksi dengan jalan membandingkan banyak definisi secara kritis untuk memperoleh definisi akhir yang dipandang sebagai kebenaran. Ajaran Sokrates ini sejalan dengan metode berfikir dalam desain, yaitu setiap persoalan yang muncul memerlukan analisa sehingga ditemukan identifikasi yang akan melahirkan definisi yang objektif.

Tokoh lain yang turut mempengaruhi pemikiran dalam desain modern datang dari Plato (427-327 SM). Plato mengembangkan metode berfikir dianesis atau metode mengurai. Plato merumuskan tentang dialektika, melalui ketajaman analisis mencari hubungan antara berbagai pengertian, yang kemudian dilakukan pengelompokkan dan selanjutnya diurai menjadi komponen terkecil. Metodologi Plato tersebut menjadi dasar pendidikan desain modern. Metode dialektika Plato merupakan simplifikasi persoalan melalui klasifikasi sistematis. Metoda ini dilakukan utamanya menyangkut persoalan desain yang kompleks dan melibatkan banyak bidang, seperti pada desain-desain rekayasa.

Tokoh filsuf Yunani lainnya yang mengembangkan metode berfikir dan relevan dengan metode berfikir dalam desain adalah Aristoteles (384-322 SM) dan Archimedes (285-12 SM). Aristoteles mengembangkan metode induksi dan deduksi sedangkan Archimedeas mengembangkan proses Heuristik. Metode heuristik tidak semata-mata bertumpu pada logika, akan tetapi memuat analogi, hipotesa, serta intuisi. Intuisi tetap dijadikan salah salah satu metoda pemecahan masalah dalam desain. Pada konteks ini intuisi menjadi salah satu elemen kreatif seorang desainer.

Metode-metoda yang berkembang pada masa Yunani merupakan induk ilmu pengetahuan modern. Metode berfikir tersebut akan digali kembali pada masa Renaisans (1350-1600 M). Penggalian kembali pikiran Yunani pada masa Renaisans merupakan bukti nyata keandalan metode berfikir Yunani, sebagaimana yang dikatakan Imanuel khan, bahwa logika manusia tidak mengalami kemajuan lagi semenjak masa Aristoteles. Metode berfikir Yunani menempatkan manusia sebagai subjek di alam, serta mengandalkan rasionalitas dalam menjawab segala permasalahan yang muncul.

Pada masa sebelum Renaisans logika dan metode berfikir manusia dikendalikan oleh dogma-dogma agama. Sebelum masa renasians kemajuan berfikir dalam sains dan filosofi tidak memberikan sumbangan yang berarti terhadap bidang lainnya, khususnya pada bidang seni rupa dan desain. Kemajuan metoda berfikir pada masa tersebut tidak dibarengi dengan kerjasama yang sifnifikan dengan bidang-bidang lain. Metoda berfikir dan logika yang berkembang hanya berdiri pada bidangnya masing-masing.

Kelahiran desain modern pada hakekatnya ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang tengah berlangsung. Pada gilirannya ilmu pengetahuan akan melahirkan teknologi yang sangat berperan dalam desain, khususnya pada masa estetika mesin dipenghujung abad ke-19. Estetika mesin merupakan istilah yang muncul untuk menyingkapi gejala-gejala dalam seni dan desain pada awal abad ke-20, yang ditandai dengan menguatnya bentuk-bentuk mekanis pada karya-karya seniman dan perajin. Fenomena estetika mesin dapat dijumpai pada karya seni dan desain, misalnya pada gaya konstruktivisme, futurisme, hingga gaya streamlining.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan setelah masa Renaisans dan Perananya dalam kelahiran Desain Modern

Renaisans merupakan upaya penggalian kembali keagungan budaya-budaya Yunani dan Romawi. Masa Renaisans merupakan masa pisah kebudayaan Barat dengan budaya lain didunia, sekaligus merupakan awal kebangkitan kebesaran Barat. Masa Renaisans ditandai dengan pendewaan rasionalitas dan logika manusia dalam menjawab serangkaian persoalan yang muncul.

Ilmuawan yang berperan dalam pengembangan pengetahuan pada era tersebut diantaranya Gallileo Galillei (1564-1642) yang memperkenalkan metoda eksperimen dengan mempergunakan model. Pengunaan model dalam bereksperimen dalam ilmu pengetahuan merupakan langkah maju, yang berupaya memecahkan masalah tidak hanya bertitik tolak dari metode deduksi dan induksi semata. Langkah ini sangat menunjang pemikiran desain modern dikemudian hari. Penciptaan sebuah desain yang baik, yang dibarengi dengan penggunaan model sebagai titik tolak memungkinkan dalam menentukan alternatif bentuk dan kemungkinan pengembangannya. Pada era modern penggunaan model berkembang dengan pesat dan muncul banyak varian tergantung pada kasus yang ditangani, mulai dari model analog hingga model digital.

Rene Descartes (1556-1650) merupakan peletak dasar berfikir secara rasional. Descartes diakui sebagai bapak filosofi modern. Tujuannya adalah mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan yang lengkap dan eksak yang diperoleh dari penyelidikan terhadap gejala alam (Bertens, 1976: 44). Menurut Descartes yang utama adalah nalar manusia dan ia mengandalkan matematika, yang dianggap sebagai induk berfikir. Metode berfikir dari Descartes dikenal dengan istilah metode cartesian. Menurutnya seluruh isi dunia dapat dianalisa dengan metode geometris analisis, yaitu dunia terdiri dari eliminasi dasar, yang secara matematis dapat dianalisa. Descartes terkenal dengan ungkapannya Cogito ergo sum (saya menyangsikan maka saya ada), berkenaan dengan hal tersebut Descartes terkenal dengan kesangsiannya terhadap segala sesuatu, kecuali terhadap ilmu pasti.

Pengkritik Descartes yang terkenal adalah G.W. Leibniz (1646-1776), yang beranggapan bahwa Cogito bersifat tertutup, dan hanya jiwa yang dapat membuka realitas secara mutlak. Cogito hanya mengenal dirinya sendiri dan idea-idea disekitarnya, sedangkan dunia materiil dikenal secara tidak langsung melalui idea tersebut. Kritikan-kritikan terhadap rasionalisme, yang mengutamakan rasio sebagai sumber utama pengenalan terhadap pengetahuan, mulai bermunculan. Hal ini yang dikemudian hari memunculkan empirisme di Inggris.

Pada penghujung abad ke-16 era rasionalisme Desacartes digantikan oleh oleh empirisme, yang lebih mengutamakan pengalaman sebagai sumber utama pengenalan terhadap pengetahuan. Pengalaman dianggap sebagai sumber pengetahuan. Thomas Hobbes (1568-1679) menganggap bahwa pengalaman inderawilah yang utama dari pada pendekatan ilmu pasti, sebagaimana yang diutarakan Descartes. Pernyataan Hobes pada gilirannya menjadi petanda materialisme dalam kancah filsafat politik. Sikap saling mengusai dan menaklukkan merupakan salah satu inti penyataan hobbes, yang mengingkari eksistensi manusia sebagai makluk sosial. Pernyataan Thomas Hobbes inilah yang menjadi tanda kemunculan empirisme di Inggris. Empirisme sendiri banyak dilotarkan oleh Francis Bacon, yaitu mengutamakan pengalaman sebagai sumber pengenalan atau pengetahuan. Kemunculan empirisme ini bukan berarti keberadaan rasionalitas menjadi tidak berarti, setidaknya menurut Hobbes, rasionalisme merupakan salah satu cara pandang terhadap empirisme.

Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dijembatani oleh penyataan dari John Locke (1632-1704), yang mengutarakan tentang rasionalisne empiris, yang menyatakan bahwa pengetahuan dari pengalaman dan akal bersifat pasif ketika pengetahuan didapatkan, akal tidak melahirkan pengetahuan sendiri. Pendapat dari Locke mendapat kritikan dari Berkeley (1685-1753), akan tetapi rasionalisme empiris tetap berkembang dan memuncak pada masa David Hume (1711-1776).

Masa setelah Renaisans adalah masa pencerahan atau Enlightenment. Pencerahan merupakan suatu massa yang ditandai oleh keluarnya manusia dari kegelapan melalui aufklarung (pencerahan). Pencerahan dapat diartikan sebagai keluar dari masa akil baliq, yang dianggap sebagai suatu kesalahan, yaitu kesalahan yang tidak mau mempergunakan akal (rasionalitas). Masa pencerahan merupakan tahap penting setelah masa Renaisans.

Penggunaan rasionalisme memuncak setelah timbulnya revolusi industri di Eropa, yang ditunjang oleh semangat positivisme dari August Comte (1798-1857). Positivisme mendasarkan kerjanya pada fakta-fakta. Semangat positivisme dituangkan dalam bentuk ‘penyatuan’ beragam ilmu pengetahuan dan filsafat atas dasar kesamaan faktuil dan pengalaman objektif. Semangat positivisme tampak pada semangat era revolusi industri, yang berupaya mempersatukan beragam ilmu pengatahuan sebagai upaya menciptakan inovasi dan teknologi baru. Revolusi industri tersebut berlangsung mulai dari abad ke-18 hingga menjelang abad ke-19. Pada masa tersebut ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang empiris (dapat dibuktikan), dan menutup terhadap pengalaman yang sifatnya subjektif atau cenderung ke arah metafisika.

Revolusi industri, yang salah satu karya monumentalnya ditemukan mesin uap, pada hakekatnya menggantikan posisi tenaga manusia dan binatang pada sektor manufaktur. Fenomena revolusi industri pada gilirannya mengakibatkan banyak tenaga buruh yang mengganggur di satu sisi, sedangkan disisi yang lain munculnya gelombang industrialisasi yang terbebas dari hambatan geografis. Timbulnya revolusi industri pada gilirannya menimbulkan gelombang anti industri. Penentangan terhadap industrialisasi pada hakekatnya merupakan penentangan terhadap hilangnya aspek humanisme dalam era industri. Pada konteks ini muncul beberapa pemikiran untuk memunculkan kembali sisi humanisme yang mulai ditinggalkan. Isyu ini mulai mengemuka ketika gelombang anti industri juga didukung oleh para seniman dan perajin. Pada sisi filsafat, konsep tentang materialisme mulai mengemuka. Materialisme pada hakekatnya menyikapi hilangnya dimensi manusia dalam sains dan filsafat, walaupun pada prakteknya meterialisme terbagi dalam dua kepentingan yang berbeda. Tokoh materilisme yang utama adalah Karl Marx. Filsafat Marx yang diintroduser dari filsafat Hegel, pada gilirannya mengilhami karya-karya konstruktivisme Rusia dan beberapa karya desain yang beraliran realisme sosialis.

Kelahiran Desain Modern pada hakekatnya merupakan akibat langsung dari perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan ilmu pengetahuan yang tengah berlangsung. Penyebaran sains dan gelombang penemuan dan pemikiaran yang merupakan hasil nyata dari renasians di Eropa turut mempengaruhi sendi-sendi budaya yang telah relatif mapan. Pada masa tersebut para seniman dan perajin telah memperoleh tempat yang relatif layak, yang disejajarkan dengan para pengajar dan humanis yang bergerak dibidang teori. Pada masa pra Renaisans seniman sebagimana para artisan lainnya menempati posisi yang lebih rendah dibanding dengan kalangan yang bergerak dibidang teori.

Era Modern Awal dan Gerakan dalam Seni dan Desain

Revolusi industri yang terjadi, khususnya di Inggris, telah menggeser posisi seniman yang relatif baik. Pada era tersebut posisi seniman dan para artisan lainnya menjadi terpinggirkan. Hal ini tampak jelas dalam proses mekanisasi produk-produk manufaktur, yang didalamnya termasuk mekanisasi produk-produk kerajinan. Sesuatu yang sebelum masa revolusi industri masih dikerjakan oleh seniman atau artisan, lambat laun tergeser oleh teknologi. Hal tersebut merupakan suatu yang ironis, mengingat teknologi dilahirkan atas kerja sama antara seniman dibidang praktisi, dan pengajar dan pemikir dibidang teoritis pada era sebelumnya.

Pergeseran yang terjadi akibat revolusi industri adalah tumbuhnya komsumerisme dalam masyarakat. Akibat lain dari revolusi industri menurut Framton adalah adanya lompatan budaya (1750-1900), timbulnya semangat perluasan wilayah (1800-1909), dan perekayasaan industri (1775-1939). Tergesernya seniman akibat revolusi industri memunculkan gerakan anti industri, yang dipelopori oleh John Ruskin dan William Morris (1850-1900). Gerakan anti industri, menyebut dirinya dengan Arts and Craft movement, yaitu gerakan yang berusaha memunculkan kembali seni abad pertengahan, dengan tujuan mempertahankan nilai kriya, makna dekoratif, dan estetika konservatif. Gerakan arts and craft ini berusaha mempertahankan barang buatan tangan. Semangat yang dibawa gerakan ini adalah aspek humanisme dalam sebuah produk yang dirasakan hilang, disamping hilangnya beberapa ornamen yang menjadi karakter keagungan seni kriya Erapa. Mekanisasi produksi tidak memungkinkan penambahan ornament yang rumit dan tidak perlu. Ornamentasi tidak mungkin dilakukan mengingat kapasitas mekanisai produk massal tidak memungkinkan membuat sesuatu yang tergolong rumit.

Setelah gagalnya gerakan arts and craft kemudia disusul kemunculan Art Nouveau (1890-1905). Gerakan ini bersifat lebih rasional dan berupaya mengikuti bakuan industri. Art Nouveau ditandai dengan munculnya bentuk organis yang distilasi dan diabstraksi, yang lebih banyak mempergunakan material logam tempa dan cor. Art nouveau berupaya memulihkan karakter seni kriya Eropa yang cenderung dekoratif dan glamour dalam mekanisme industri yang cenderung organis. Konsep yang dibawa Arts Nouveau merupakan upaya pengangkatan kembali kebesaran budaya Baroque dan Rococo, serta berupaya mengangkat fenomena nilai-nilai estetika ketimuran yang mulai mengemuka sebagai akibat ekspansi perluasan wilayah ke Asia dan Afrika.

Pada awal abad ke-20 gerakan Art Nouveau telah memasuki hampir keseluruhan seni dunia. Keemasasan Art Nouveau berakhir setelah masyarakat merasakan kejenuhan terhadap karya-karya yang ditawarkan. Kuatnya penetarsi industri dalam desain yang mengakibatkan sisi ornamen mulai terpinggirkan. Hal ini terbukti dengan mulai ditinggalkannya unsur-unsur hiasan yang menjadi ciri Art Nouveau. Pada saat yang bersamaan fenomena Horor Vacui dan gagasan ornament and crime dari Adolf loss, mulai menguat, sehingga sisi ornamen diindentikan dengan situasi primitif dan keterbelakangan. Gagasan Loos tentang ornamen pada dasarnya ditujukan kepada kelompok Seccession yang dinilai mendua terhadap ornamen. Seccession merupakan sebuah gerakan dalam arsitektur Austria yang berupaya menghidupkan kembali seni Neoklasik.

Pada sisi lainnya berkembangnya industrialisasi menuntut konsep-konsep baru dalam desain, yang selama ini lebih mengacu pada kebesaran seni abad pertengahan. Pikiran-pikiran tentang modernisme menutut bentuk desain dan konsep estetika baru.

Berakhirnya art nouveau merupakan permulaan munculnya modernisme (1900-1917). Masa peralihan tersebut disebut dengan proto modernisme. Proto modernisme merupakan istilah yang diberikan Penny Sparke (1986), terhadap gejala-gejala desain diawal abad 20, yang mengarah pada kecenderungan mekanisasi produksi yang berupaya mengeliminasi ormanen dan dekorasi yang berlebihan.

Pada tahun 1900 Van de Velde dan Herman Munthesius membentuk sebuah organisasi yang berupaya membangun keserasian antara seni dan industri, yaitu Deutsche Werkbund. Pada tahun 1907 organisasi ini bertugas menyusun standar seni Jerman. Menurut Fredrich Naumann dalam dunia industri perlu adanya penggabungan selaras antara seniman, produsen, dan pejual. Keterpisahan ketiganya merupakan akibat dari berakhirnya seni kriya Eropa, sebagai konsekwensi munculnya industri secara besar-besaran, oleh karena itu estetika baru harus segera ditemukan, dengan memanfaatkan mesin-mesin yang telah ada (Sparke, 1986).

Deutsche Werkbund didirikan pada masa proto modernisme (1907) di Jerman, merupakan lembaga yang berupaya menyeleraskan antara seni, industri dan ketrampilan. Upaya Deutsche Werkbund tersebut ternyata menemui kegagalan, yang terutama diakibatkan oleh ketidaksesuaian ideologi antara Herman Munthesius dan Henry van de Velde. Konsep pemikiran Munthesisus adalah unsur artistik, budaya, dan ekonomi harus menyatu dalam seni terapan. Menurut Munthesius tidak mungkin merubah seni Jerman secara langsung melainkan bagaimana mengubah sesuatu melalui karakter generasi yang hidup pada kurun waktu tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut pengungkapan masalah artistik perlu dikaitkan dengan kebangsaan atau nasionalisme. Pikiran-pikiran tersebut mengemuka mengingat pada kurun waktu yang sama industri wilayah Jerman berkembang dengan pesat, tetapi pada sisi lainnya memunculkan semangat separatisme dibeberapa bagian. Pada kurun tersebut Jerman masih berbentuk negara-negara kecil yang cenderung bermusuhan. Federasi Jerman baru terbentuk setelah perang dunia I.

Van de Velde mengungkapkan bahwa seni dan industri tidak mungkinn dapat digabungkan dan bekerja sama demi kepentingan nasional. Industri tidak dapat dikorbankan demi mengejar estetika dan keuntungan. Pertentangan tersebut dianggap sebagai tonggak ketidakmampuan Deutsche Werkbund dalam menjembatani kepentingan seniman dan kebebesan berpekspresi yang semakin menguat. Prinsip-prinsip tentang kebebasan berekspresi ini banyak dilhami oleh konsep rasionalisme empiris yang mulai mengemuka di Jerman.

Berakhirnya Deutsche Werkbund mulai bermunculkan gerakan seni yang berpatokan pada penemuan dibidang ilmu pengetahuan. Diantaranya kelahiran kubisme yang diilhami oleh fisika analitis, surealisme yang ilhami oleh psikoanalisa dari Frued, dan juga futurisme yang mendapat ide dari konsep mekanisasi dan percepatan. Kelahiran desain modern pada sekitar tahun 1918 dibarengi dengan munculnya estetika mesin pada tahun 1920. Pada tahun-tahun tersebut bermunculan beberapa gerakan dalam seni dan desain yang cenderung berkiblat dalam konsep realisme sosialis, yang salah satunya ilhami oleh konsep filsafat materialisme. Estetika mesin dipicu oleh kehancuran akibat perang dunia I. Akibat perang ini memunculkan upaya antuk memproduksi barang secara besar-besaran. Fenomena ini mengisyaratakan bahwa kelahiran desain modern dilatar belakangi oleh perkembangan yang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan.

Penutup

Uraian tersebut berusaha menjabarkan secara singkat kelahiran desain modern yang diawali oleh munculnya proto modern sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tengah terjadi. Pemikiran-pemikiran yang muncul dimasa Yunani digali kembali pada massa Renaisans dan di lanjutkan hingga era revolusi industri.

Pertentangan-pertetangan yang muncul terhadap teori-teori pengetahuan sebelumnya menyiratkan bahwa terdapat upaya perombakan kearah kemajuan terhadap pola pikir yang mengandalkan rasionalitas. Metode berfikir dari Plato, Aristoteles hingga Descarates, Hobbes, dan John Locke merupakan runtutan yang menghadirkan revolusi industri di kemudian hari. Revolusi industri dengan ditemukannya mesin uap secara tidak langsung mengakibatkan posisi artisan dan para seniman menjadi terancam.

Ancaman industri ini yang memunculkan gelombang anti industri, yang berupaya memulihkan kembali peran seniman, dengan penciptaan barang-barang yang mengandalkan buatan tangan. Gerakan anti industri, yang disusul oleh gerakan art nouveau, mengalami kegagalan menjelang penghujung abad ke-19.

Menjelang abad ke-20 muncul gerakan Deutsche Werkbund, yang berupaya menyelaraskan seni dengan industri. Gerakan inilah yang menjadi cikal bakal munculnya desain modern. walaupun pada akhirnya gerakan ini dinilai gagal, tetapi kemunculannya merupakan tonggak penting terhadap kelahiran desain modern, yang disusul dengan prisip esetika mesin pada tahun 1920. Prinsip esetika mesin inilah yang menjadi titik mula kelahiran desain modern.



DAFTAR RUJUKAN

Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Blackie and Son Ltd. 1977. Topics in Art History The 20th Century. Glasgow: Blackie and Son Ltd.

Heskett, John. Tanpa tahun. Desain Industri. Terjemahan oleh Inddes. 1980. Bandung: Rajawali.

Lamm C. Robert. 1988. Humanities in Western Cultural A Search for Human Values. Iowa: WM C. Brown Publisers.

Sparke, Penny. 1986. An Introduction to Desain and Cultural in Twentieth Century. London: Allen and Un Win.

Walker, John. 1989. Design History and the History of Design. London: Pluto Press.

Mengapa anda mengunjungi blog ini