Rabu, 08 Agustus 2007
Desain
PRODUK GLOBAL DALAM WACANA LOKALITAS IKLAN GLOBAL
Oleh: Rudi Irawanto*
Globalisasi menjadi isyu yang paling menarik pada penghujung abad ke-20. Fenomena ini telah melahirkan beragam pertanyaan tentang makna globalitas di tengah semakin menguatnya isyu-isyu etnisitas dan sektarian. Globalisasi tidak lagi dimaknai sebagai kaburnya batas teritorial melalui jalur C2 Computer and Comunication, tetapi merupakan petanda takluknya identitas lokal dalam kungkungan kekuatan transnasional. Fenomena ini mengisyaratkan lenyapnya otoritas lokal dan heterogenitas kultur yang selama ini menjadi faktor penggerak globalitas. Globalisasi setidaknya digerakkan oleh 3 elemen, yaitu kapitalisme lanjut, postmodern, dan cyberspace. Kapitalisme lanjut merujuk pada kekuatan perekonomian, postmodernisme merujuk pada fenomena ekstasi kebudayaan, sedangkan cyberspace merujuk pada kekuatan teknologi. Ketiga elemen tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya, menghasilkan kekuatan budaya baru yang cenderung mengeliminasi karakter budaya-budaya lokal. Wilayah teritorial budaya lokal menjadi tidak jelas, termasuk didalamnya identitas kelompok atau etnis.
Kaburnya batas-batas teritorial, baik secara politis maupun budaya, pada gilirannya akan melahirkan kekuatan-kekuatan hegemoni dalam sektor finansial sampai dengan kultural. Pada intinya batas-batas tentang hal-hal yang dianggap global membuahkan beragam penafsiran. Seperti yang diungkapan Samir Amin, seorang ekonom asal Senegal, globalisasi lebih banyak menghasilkan kontradiksi dan konflik-konfik internal, terutama di negara-negara berkembang, ketimbang mengatasi persoalan-persoalan internal. Pada konteks tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi lokalitas sebagai landasan nasionalisme semakin mengemuka, yang pada ujungnya mencari-cari pihak-pihak yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap hilangnya eksistensi kultur-kultur lokal tersebut.
Iklan sebagai sebuah produk kebudayaan menjadi salah satu pihak yang dinilai memiliki tanggung jawab moral terhadap memudarnya kebanggaan terhadap produk-produk lokal. Pada konteks tersebut produk lokal dilihat sebagai bagain dari eksistensi kultural. Eksistensi sebuah produk dalam iklan tidak semata-mata dipandang sebagai bagian dalam komponen pemasaran. Iklan mampu memanipulasi keberadaan sebuah produk menjadi sarana untuk membentuk citra. Pada konteks ini produk tidak dilihat dari aspek utilitasnya semata-mata, produk dapat menjadi petanda eksistensi diri, kebanggaan, atau prestise.
Iklan menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap fethisisme produk tersebut. Keberhasilan produk-produk global masuk dalam pasar domestik, pada umumnya didorong oleh kekuatan fethis tersebut. Saluran pemasaran global tidak berhenti pada unsur product, price, promotion, dan place, tetapi turut mempertimbang aspek politic dan public, dan unsur psychology dan public relation. Kompleksitas elemen dalam sistem pemasaran global tersebut menjadi petanda bahwa produk-produk global yang dikenalkan melalui iklan-iklan global tidak semata-mata dilandasi kepentingan distribusi, tetapi mampu menjadi alat untuk menyalurkan beragam kepentingan, termasuk kepentingan politik dan kebudayaan.
Selama ini fenomena global selalu dilihat sebagai bentuk penyatuan konsep dan gagasan dalam banyak hal, termasuk didalamnya penyatuan konsep tentang standar norma-norma, gaya hidup, kegiatan budaya, aktifitas sosial, pandangan politik, dan juga parameter-parameter pertumbuhan tingkat perekonomian. Diantara sekian banyak parameter yang ada, kekuatan politik dan ekonomi memperlihatkan dominasinya diantara parameter-parameter lain. Dua kekuatan ini yang dinilai membawa andil terbesar dalam pertumbuhan sebuah negara. Kekuatan politik dicerminkan melalui lahirnya demokrasi liberal, dan kekuatan ekonomi ditandai dengan menjamurnya budaya konsumtif (Hassner, 2002: 24). Lahirnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dalam era global tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk kegiatan dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut eksistensi kekuatan yang beroperasi dibalik sumber-sumber kekuatan tersebut.
Aktivitas-aktivitas sosial, politik, dan budaya yang dijalankan pada era global tidak dapat lepas dari intervensi ekonomi. Evolusi internal negara-negara besar memaksa negara-negara tersebut lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek ekonomi. Praktik kekerasan, melalui jalur politik atau militer, seperti pada dekade pra perang dingin tidak dapat dijalankan (Sestranovich, 2001:12). Pada kondisi tersebut fenomena kapitalisme yang menjadi jantung globalisasi memperoleh legitimasi. Kapitalisme tidak semata-mata menawarkan nilai materiil dan utilitas, tetapi menawarkan citra-citra tertentu yang mampu merubah persepsi orang terhadap benda-benda. Gerakan globalisasi, dari persepsi ekonomi, dapat dilihat sebagai jelmaan neo-liberalisme, sebuah gerakan yang tetap menawarkan konsep liberalisme klasik hanya dalam waktu dan konteks yang berbeda. Neo-liberalisme dicirikan dengan fluktuasi harga-harga yang menjadi petanda eksistensi sebuah produk. Nilai produk tercermin dari besaran harga-harga, sedangkan harga mencerminkan kuantitas dan kualitas produk di pasar, sehingga hukum pasar bebas memperoleh pengakuan (Clements, Kevin P., 1999).
Merek-merek global seperti Mac Donalds,P & G, Gillete, Levi’s, Coca cola, Nike dan sejenisnya, tidak sekadar menawarkan nilai guna tetapi juga gaya hidup. Fenomena tersebut menyebabkan harga yang melekat pada produk global tidak semata-mata berlandaskan pada variabel biaya produksi semata-mata. Harga yang terpancang merupakan cerminan eksistensi gaya hidup yang ditawarkan. Pada kasus ini dapat dilihat bahwa kepentingan ekonomi telah beralih fungsi menjadi saluran-saluran budaya, gaya hidup, norma-norma, dan bahkan politik (Batey, 2002:314). Pada sistem budaya budaya konsumen, konsumsi produk tidak berhenti pada pencarian nilai atau selera, akan tetapi dapat berubah menjadi bentuk tindakan penyamaran (masquerade), peniruan (imitation), dan penggabungan (incorporation) (Lury, 1998:305).
Para pemakai sepatu Nike tidak mewaliki produk Amerika atau menjadi bagian dari Amerikanisme, tetapi merupakan bagian dari sebuah peradaban global dan gaya hidup global. Nike mampu menyamarkan eksistensi diri yang sebenarnya. Kondisi yang sama terjadi ketika seseorang menikmati Mac Donalds atau meminum Coca cola, karakter negara produsen menjadi terpinggirkan, karena yang muncul adalah perasaan partisipatif terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Pada konteks inilah globalisasi menemukan jalan yang leluasa. Secara kebetulan eksistensi produk global diwakili oleh merek-merek impor, khususnya dari Barat, walaupun tidak semua produk impor dapat dikategorikan sebagai produk global.
Citra Produk Global
Sebuah produk untuk menjadi produk global tidak terletak pada sisi impor atau tidaknya, tetapi terbentuk ketika sebuah produk mampu menawarkan nilai-nilai baru yang keluar dari norma-norma konvensional setempat, cenderung lepas dari asumsi-asumsi relegiusitas, bersifat komunikatif dan yang lebih penting tidak berhenti pada fungsi utilitas. Pada intinya sebuah budaya atau produk budaya dapat menjadi global bila setidaknya memiliki 3 unsur, yaitu bersifat rasional, kontekstual dan komunikatif. Rasional dapat diartikan lepas dari unsur agama atau norma-norma tertentu atau bersifat sekuler. Kontekstual berarti dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif berarti dapat dicerna oleh siapa saja.
Pada konteks global pembentuk citra produk menjadi penting. Coca cola menjadi merek global karena mampu mencitrakan produknya sebagai minuman ‘gaya hidup’ yang bukan sekadar minuman pelepas dahaga. Sesuatu yang sulit ditandingi oleh Gatorade, Seven Up, Pocari Sweat, bahkan oleh Mecca Cola.
Citra produk terbentuk salah satunya melalui serangkaian proses komunikasi periklanan yang efektif dan simultan, selain melalui komunikasi PR. Pada konteks tersebut peranan iklan sebagai kegiatan persuasi yang diharapkan mampu membentuk citra-citra menjadi penting. Iklan menjadi salah satu perangkat yang mampu melakukan ‘propaganda’ dan komunikasi secara optimal. Iklan pada hakekatnya melontarkan citra-citra yang di tanam benak konsumen (positioning), sehingga sebuah produk dapat memperoleh status baru.
Iklan untuk produk-produk global tidak hanya berkutat pada aspek utilitas, tetapi berupaya membentuk jaringan makna-makna yang pada gilirannya konsumen diharapkan mengakui bahwa produk tersebut menjadi bagian dari peradaban global. Keberhasilan komunikasi periklanan pada tataran ini ditandai dengan pengakuan bahwa sebuah produk telah menjadi bagian dari suatu gaya hidup dan simbol-simbol global yang keberadaannya dibutuhkan untuk menopang eksistensi diri.
Konsep Iklan Global
Iklan-iklan untuk produk global cenderung bersikap sebagai iklan global. Iklan global merupakan iklan yang secara konsep dibangun lebih inklusif, sehingga relatif mampu ‘diterima’ di tiap negara dan budaya. Iklan global dibangun atas dasar rasionalitas dan mengabaikan sentimen kebangsaan, relegiusitas, atau etnisitas. Nuansa lokal yang tampil pada eksekusi iklan global lebih bersifat sebagai ‘hiasan pemanis’, sehingga konsep yang hendak disampaikan tetap seragam di tiap negara. Pada konteks tersebut iklan global berupaya keluar dari batas-batas kultur dan politis yang cenderung eksklusif. Homogenitas iklan global mencerminkan kesatuan kekuatan pihak–pihak yang beroperasi dibalik iklan-iklan tersebut. Iklan-iklan global pada umumnya dilotarkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs), yang secara politis dan budaya tidak memiliki ikatan ‘formal’ dengan negara-negara tertentu.
Gerakan globalisasi pada prakteknya mendapat banyak dorongan dari korporasi-korporasi transnasional tersebut, yang keberadaannya didukung oleh lembaga-lembaga donor internasional dan mekanismenya diatur dalam struktur organisasi perdagangan global. Eksistensi korporasi transnasional tercermin dari semakin kuatnya penetrasi merek-merek global dalam wilayah lokal. Hadirnya merek-merek global senantiasa disertai dengan kegiatan promosi yang sistematis, sehingga mampu membentuk jalinan gaya hidup tertentu yang berpatokan pada standar-standar global yang cenderung homogen.
Gaya hidup baru yang menempatkan produk-produk global sebagai simbol eksistensi diri dan status sosial disinyalir merupakan salah satu petanda lahirnya bazar budaya global (the global cultural bazaar). Bazar budaya global merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis, dan tersebar secara cepat melalui tangan-tangan media massa. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi transnasional yang memiliki kemampuan finansial yang relatif besar, sehingga mampu memarginalisasi nilai-nilai lokal.
Bazar budaya global merupakan istilah dari Barnet dan Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa (makanan, minuman, musik, dll) dan citra budaya (acara televisi, berita, radio, permainan, dll) ‘Barat’ ke seluruh penjuru dunia. Gejala tersebut dapat dilihat dari menjamurnya gerai-gerai ‘impor’ dan supermaket-supermarket global dengan segala fasilitas modern di dalamnya yang semakin mendesak gerai-gerai dan produk-produk lokal. Kondisi ini berakibat semakin kuatnya persepsi negatif terhadap karya bangsa sendiri dan semakin mengkristalnya konsep-konsep Barat sebagai panutan.
Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi lain penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu petanda modernisasi. Mall-mall menggantikan fungsi pasar-pasar tradisonal, karena kegiatan berbelanja tidak hanya sekadar membeli barang-barang tetapi bagian dari aktivitas relaksasi dan menunjukkan identitas diri. Melalui mal-mall fasilitas modern yang menopang kemudahan belanja mampu dihadirkan secara lebih sempurna. Kegiatan periklanan yang gencar mampu menjaring ribuan kawula muda di berbagai negara larut dalam lalu lintas konsumerisme produk-produk global.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan yang dibangun oleh korporasi transnasional tersebut. Modal besar dan jaringan pemasaran yang luas mampu membentuk satu jaringan kebudayaan global dan mampu ‘mempersatukan’ cita rasa seluruh kawula muda di dunia. Iklan global menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global tersebut, yang kemudian menjadi bagian dalam sebuah sistem perputaran kapital (culture capital).
Fenomena bazar budaya global, senantiasa menempatkan kemajuan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut tampak dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi terbaru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang diduga memicu hilangnya semangat lokalitas sebagai pijakan nasionalisme dan semangat kebangsaan.
Iklan Global dalam Bingkai Lokal
Ekuitas merek-merek global dalam situasi bazar budaya global, secara teknik sulit ditandingi merek-merek lokal. Kondisi ini menyebabkan ruang gerak iklan global lebih leluasa. Tindakan yang mungkin dilakukan sebatas memberikan atribut-atribut lokal sebagai petanda masih adanya ‘nasionalisme’ dalam diri kreator iklan. Nasionalisme dalam iklan terbangun bila konsep yang dilontarkan dapat diterima tanpa prasangka, dan dengan eksekusi visual yang tetap menempatkan nuasa-nuansa lokalitas sebagai acuan. Fenomena tersebut dapat dilihat dalam konsep promosi dari MTV (Kotler, 1998:327).
Dimensi lokalitas tidak berhenti pada karakter produk dengan menggunakan ‘embel-embel’ lokal, tetapi tercermin dari konsep dan eksekusi yang mampu menanamkan konsep-konsep budaya lokal yang lebih membumi. Prinsip ‘nasionalisme’ ini tidak diterjemahkan sebagai bentuk penolakan terhadap globalisasi, tetapi merupakan tindakan tidak menerima konsep-konsep global secara penuh dan tanpa koreksi (Bantey, 2002). Gejala tersebut dapat dilihat pada iklan-iklan yang menjuarai festival iklan Chanes Lion atau dalam ajang AdFest dalam lingkup Asia Fasifik. Kreativitas iklan-iklan non Eropa menunjukkan upaya kuat melakukan ‘counter’ terhadap konsep-konsep global yang cenderung homogen. Iklan-iklan Asia lebih banyak mengekploitasi karakter budaya Asia. Pada wilayah-wilayah tertentu produk-produk global tidak lagi dipandang dan ditempatkan sebagai salah satu simbol gaya hidup yang selalu dan perlu diagungkan. Budaya-budaya lokal pada wilayah-wilayah yang lebih luas, misalnya China, India, atau kawasan Eropa Timur, semangat menentang pengaruh Barat lebih terasa. Produk-produk dengan nuansa lokal mampu bersaing dengan produk global dengan lebih baik (Batey,2002: 299).
Gejala di sebagian besar wilayah Asia menunjukkan bahwa produk-produk global tetap diterima sebagai sebuah kewajaran.. Iklan-iklan pun tidak lagi berbicara mewakili subjektivitas korporasi transnasional, tetapi melihat produk global dari sudut pandang lokal.
Produk global pada gilirannya berupaya membidik pangsa pasar lokal dengan menampilkan atribut-atribut lokalitas. Fenomena ini merupakan upaya menanamkan konsep global secara sistematis dalam saluran-saluran lokal. Konsep-konsep global yang disalurkan diantaranya melalui produk-produk global dengan cita rasa lokal dapat dilihat sebagai upaya peleyapan batas-batas kultural secara sistematis. Pada konteks ini peran iklan sebagai pihak yang berkepentingan dalam saluran promosi menjadi penting. Iklan untuk produk global diharapkan mampu menjadi penyeimbang terhadap penetrasi produk global dalam pasar lokal, sehingga nilai lokalitas yang dituangkan dalam iklan global tidak mengakibatkan produk lokal kehilangan eksistensi.
DAFTAR RUJUKAN
Batey, Ian. 2002. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Clement, Kevin P. 1999. Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, Philip. 1998. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Prenhallindo.
Kristol, Irving, Hassner, Piere, dan Sestanovich, Stephen. 2001. Memotret Kanan Baru Tanggapan Atas The End of History Fukuyama. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor.
Ries, Al dan Jack Trout. 2002. Positioning The Battle for Your Mind. Jakarta: Salemba Empat.
Ries, Al dan Ries, Laura. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga.
Trout, Jack. 2001. Big Brand Big Trouble. Jakarta: Erlangga.
PRODUK GLOBAL DALAM WACANA LOKALITAS IKLAN GLOBAL
MAKALAH
Disampaikan dalam Seminar Jurusan Seni dan Desain
Tanggal 27 Mei 2004
Oleh:
Rudi Irawanto
NIP. 132282572
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SENI DAN DESAIN
Mei 2004
* Rudi Irawanto, dosen Jurusan Seni dan Desain FS - UM
Oleh: Rudi Irawanto*
Globalisasi menjadi isyu yang paling menarik pada penghujung abad ke-20. Fenomena ini telah melahirkan beragam pertanyaan tentang makna globalitas di tengah semakin menguatnya isyu-isyu etnisitas dan sektarian. Globalisasi tidak lagi dimaknai sebagai kaburnya batas teritorial melalui jalur C2 Computer and Comunication, tetapi merupakan petanda takluknya identitas lokal dalam kungkungan kekuatan transnasional. Fenomena ini mengisyaratkan lenyapnya otoritas lokal dan heterogenitas kultur yang selama ini menjadi faktor penggerak globalitas. Globalisasi setidaknya digerakkan oleh 3 elemen, yaitu kapitalisme lanjut, postmodern, dan cyberspace. Kapitalisme lanjut merujuk pada kekuatan perekonomian, postmodernisme merujuk pada fenomena ekstasi kebudayaan, sedangkan cyberspace merujuk pada kekuatan teknologi. Ketiga elemen tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya, menghasilkan kekuatan budaya baru yang cenderung mengeliminasi karakter budaya-budaya lokal. Wilayah teritorial budaya lokal menjadi tidak jelas, termasuk didalamnya identitas kelompok atau etnis.
Kaburnya batas-batas teritorial, baik secara politis maupun budaya, pada gilirannya akan melahirkan kekuatan-kekuatan hegemoni dalam sektor finansial sampai dengan kultural. Pada intinya batas-batas tentang hal-hal yang dianggap global membuahkan beragam penafsiran. Seperti yang diungkapan Samir Amin, seorang ekonom asal Senegal, globalisasi lebih banyak menghasilkan kontradiksi dan konflik-konfik internal, terutama di negara-negara berkembang, ketimbang mengatasi persoalan-persoalan internal. Pada konteks tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi lokalitas sebagai landasan nasionalisme semakin mengemuka, yang pada ujungnya mencari-cari pihak-pihak yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap hilangnya eksistensi kultur-kultur lokal tersebut.
Iklan sebagai sebuah produk kebudayaan menjadi salah satu pihak yang dinilai memiliki tanggung jawab moral terhadap memudarnya kebanggaan terhadap produk-produk lokal. Pada konteks tersebut produk lokal dilihat sebagai bagain dari eksistensi kultural. Eksistensi sebuah produk dalam iklan tidak semata-mata dipandang sebagai bagian dalam komponen pemasaran. Iklan mampu memanipulasi keberadaan sebuah produk menjadi sarana untuk membentuk citra. Pada konteks ini produk tidak dilihat dari aspek utilitasnya semata-mata, produk dapat menjadi petanda eksistensi diri, kebanggaan, atau prestise.
Iklan menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap fethisisme produk tersebut. Keberhasilan produk-produk global masuk dalam pasar domestik, pada umumnya didorong oleh kekuatan fethis tersebut. Saluran pemasaran global tidak berhenti pada unsur product, price, promotion, dan place, tetapi turut mempertimbang aspek politic dan public, dan unsur psychology dan public relation. Kompleksitas elemen dalam sistem pemasaran global tersebut menjadi petanda bahwa produk-produk global yang dikenalkan melalui iklan-iklan global tidak semata-mata dilandasi kepentingan distribusi, tetapi mampu menjadi alat untuk menyalurkan beragam kepentingan, termasuk kepentingan politik dan kebudayaan.
Selama ini fenomena global selalu dilihat sebagai bentuk penyatuan konsep dan gagasan dalam banyak hal, termasuk didalamnya penyatuan konsep tentang standar norma-norma, gaya hidup, kegiatan budaya, aktifitas sosial, pandangan politik, dan juga parameter-parameter pertumbuhan tingkat perekonomian. Diantara sekian banyak parameter yang ada, kekuatan politik dan ekonomi memperlihatkan dominasinya diantara parameter-parameter lain. Dua kekuatan ini yang dinilai membawa andil terbesar dalam pertumbuhan sebuah negara. Kekuatan politik dicerminkan melalui lahirnya demokrasi liberal, dan kekuatan ekonomi ditandai dengan menjamurnya budaya konsumtif (Hassner, 2002: 24). Lahirnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dalam era global tidak semata-mata dilihat sebagai bentuk kegiatan dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut eksistensi kekuatan yang beroperasi dibalik sumber-sumber kekuatan tersebut.
Aktivitas-aktivitas sosial, politik, dan budaya yang dijalankan pada era global tidak dapat lepas dari intervensi ekonomi. Evolusi internal negara-negara besar memaksa negara-negara tersebut lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek ekonomi. Praktik kekerasan, melalui jalur politik atau militer, seperti pada dekade pra perang dingin tidak dapat dijalankan (Sestranovich, 2001:12). Pada kondisi tersebut fenomena kapitalisme yang menjadi jantung globalisasi memperoleh legitimasi. Kapitalisme tidak semata-mata menawarkan nilai materiil dan utilitas, tetapi menawarkan citra-citra tertentu yang mampu merubah persepsi orang terhadap benda-benda. Gerakan globalisasi, dari persepsi ekonomi, dapat dilihat sebagai jelmaan neo-liberalisme, sebuah gerakan yang tetap menawarkan konsep liberalisme klasik hanya dalam waktu dan konteks yang berbeda. Neo-liberalisme dicirikan dengan fluktuasi harga-harga yang menjadi petanda eksistensi sebuah produk. Nilai produk tercermin dari besaran harga-harga, sedangkan harga mencerminkan kuantitas dan kualitas produk di pasar, sehingga hukum pasar bebas memperoleh pengakuan (Clements, Kevin P., 1999).
Merek-merek global seperti Mac Donalds,P & G, Gillete, Levi’s, Coca cola, Nike dan sejenisnya, tidak sekadar menawarkan nilai guna tetapi juga gaya hidup. Fenomena tersebut menyebabkan harga yang melekat pada produk global tidak semata-mata berlandaskan pada variabel biaya produksi semata-mata. Harga yang terpancang merupakan cerminan eksistensi gaya hidup yang ditawarkan. Pada kasus ini dapat dilihat bahwa kepentingan ekonomi telah beralih fungsi menjadi saluran-saluran budaya, gaya hidup, norma-norma, dan bahkan politik (Batey, 2002:314). Pada sistem budaya budaya konsumen, konsumsi produk tidak berhenti pada pencarian nilai atau selera, akan tetapi dapat berubah menjadi bentuk tindakan penyamaran (masquerade), peniruan (imitation), dan penggabungan (incorporation) (Lury, 1998:305).
Para pemakai sepatu Nike tidak mewaliki produk Amerika atau menjadi bagian dari Amerikanisme, tetapi merupakan bagian dari sebuah peradaban global dan gaya hidup global. Nike mampu menyamarkan eksistensi diri yang sebenarnya. Kondisi yang sama terjadi ketika seseorang menikmati Mac Donalds atau meminum Coca cola, karakter negara produsen menjadi terpinggirkan, karena yang muncul adalah perasaan partisipatif terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Pada konteks inilah globalisasi menemukan jalan yang leluasa. Secara kebetulan eksistensi produk global diwakili oleh merek-merek impor, khususnya dari Barat, walaupun tidak semua produk impor dapat dikategorikan sebagai produk global.
Citra Produk Global
Sebuah produk untuk menjadi produk global tidak terletak pada sisi impor atau tidaknya, tetapi terbentuk ketika sebuah produk mampu menawarkan nilai-nilai baru yang keluar dari norma-norma konvensional setempat, cenderung lepas dari asumsi-asumsi relegiusitas, bersifat komunikatif dan yang lebih penting tidak berhenti pada fungsi utilitas. Pada intinya sebuah budaya atau produk budaya dapat menjadi global bila setidaknya memiliki 3 unsur, yaitu bersifat rasional, kontekstual dan komunikatif. Rasional dapat diartikan lepas dari unsur agama atau norma-norma tertentu atau bersifat sekuler. Kontekstual berarti dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif berarti dapat dicerna oleh siapa saja.
Pada konteks global pembentuk citra produk menjadi penting. Coca cola menjadi merek global karena mampu mencitrakan produknya sebagai minuman ‘gaya hidup’ yang bukan sekadar minuman pelepas dahaga. Sesuatu yang sulit ditandingi oleh Gatorade, Seven Up, Pocari Sweat, bahkan oleh Mecca Cola.
Citra produk terbentuk salah satunya melalui serangkaian proses komunikasi periklanan yang efektif dan simultan, selain melalui komunikasi PR. Pada konteks tersebut peranan iklan sebagai kegiatan persuasi yang diharapkan mampu membentuk citra-citra menjadi penting. Iklan menjadi salah satu perangkat yang mampu melakukan ‘propaganda’ dan komunikasi secara optimal. Iklan pada hakekatnya melontarkan citra-citra yang di tanam benak konsumen (positioning), sehingga sebuah produk dapat memperoleh status baru.
Iklan untuk produk-produk global tidak hanya berkutat pada aspek utilitas, tetapi berupaya membentuk jaringan makna-makna yang pada gilirannya konsumen diharapkan mengakui bahwa produk tersebut menjadi bagian dari peradaban global. Keberhasilan komunikasi periklanan pada tataran ini ditandai dengan pengakuan bahwa sebuah produk telah menjadi bagian dari suatu gaya hidup dan simbol-simbol global yang keberadaannya dibutuhkan untuk menopang eksistensi diri.
Konsep Iklan Global
Iklan-iklan untuk produk global cenderung bersikap sebagai iklan global. Iklan global merupakan iklan yang secara konsep dibangun lebih inklusif, sehingga relatif mampu ‘diterima’ di tiap negara dan budaya. Iklan global dibangun atas dasar rasionalitas dan mengabaikan sentimen kebangsaan, relegiusitas, atau etnisitas. Nuansa lokal yang tampil pada eksekusi iklan global lebih bersifat sebagai ‘hiasan pemanis’, sehingga konsep yang hendak disampaikan tetap seragam di tiap negara. Pada konteks tersebut iklan global berupaya keluar dari batas-batas kultur dan politis yang cenderung eksklusif. Homogenitas iklan global mencerminkan kesatuan kekuatan pihak–pihak yang beroperasi dibalik iklan-iklan tersebut. Iklan-iklan global pada umumnya dilotarkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs), yang secara politis dan budaya tidak memiliki ikatan ‘formal’ dengan negara-negara tertentu.
Gerakan globalisasi pada prakteknya mendapat banyak dorongan dari korporasi-korporasi transnasional tersebut, yang keberadaannya didukung oleh lembaga-lembaga donor internasional dan mekanismenya diatur dalam struktur organisasi perdagangan global. Eksistensi korporasi transnasional tercermin dari semakin kuatnya penetrasi merek-merek global dalam wilayah lokal. Hadirnya merek-merek global senantiasa disertai dengan kegiatan promosi yang sistematis, sehingga mampu membentuk jalinan gaya hidup tertentu yang berpatokan pada standar-standar global yang cenderung homogen.
Gaya hidup baru yang menempatkan produk-produk global sebagai simbol eksistensi diri dan status sosial disinyalir merupakan salah satu petanda lahirnya bazar budaya global (the global cultural bazaar). Bazar budaya global merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis, dan tersebar secara cepat melalui tangan-tangan media massa. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi transnasional yang memiliki kemampuan finansial yang relatif besar, sehingga mampu memarginalisasi nilai-nilai lokal.
Bazar budaya global merupakan istilah dari Barnet dan Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa (makanan, minuman, musik, dll) dan citra budaya (acara televisi, berita, radio, permainan, dll) ‘Barat’ ke seluruh penjuru dunia. Gejala tersebut dapat dilihat dari menjamurnya gerai-gerai ‘impor’ dan supermaket-supermarket global dengan segala fasilitas modern di dalamnya yang semakin mendesak gerai-gerai dan produk-produk lokal. Kondisi ini berakibat semakin kuatnya persepsi negatif terhadap karya bangsa sendiri dan semakin mengkristalnya konsep-konsep Barat sebagai panutan.
Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi lain penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu petanda modernisasi. Mall-mall menggantikan fungsi pasar-pasar tradisonal, karena kegiatan berbelanja tidak hanya sekadar membeli barang-barang tetapi bagian dari aktivitas relaksasi dan menunjukkan identitas diri. Melalui mal-mall fasilitas modern yang menopang kemudahan belanja mampu dihadirkan secara lebih sempurna. Kegiatan periklanan yang gencar mampu menjaring ribuan kawula muda di berbagai negara larut dalam lalu lintas konsumerisme produk-produk global.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan yang dibangun oleh korporasi transnasional tersebut. Modal besar dan jaringan pemasaran yang luas mampu membentuk satu jaringan kebudayaan global dan mampu ‘mempersatukan’ cita rasa seluruh kawula muda di dunia. Iklan global menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global tersebut, yang kemudian menjadi bagian dalam sebuah sistem perputaran kapital (culture capital).
Fenomena bazar budaya global, senantiasa menempatkan kemajuan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut tampak dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi terbaru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang diduga memicu hilangnya semangat lokalitas sebagai pijakan nasionalisme dan semangat kebangsaan.
Iklan Global dalam Bingkai Lokal
Ekuitas merek-merek global dalam situasi bazar budaya global, secara teknik sulit ditandingi merek-merek lokal. Kondisi ini menyebabkan ruang gerak iklan global lebih leluasa. Tindakan yang mungkin dilakukan sebatas memberikan atribut-atribut lokal sebagai petanda masih adanya ‘nasionalisme’ dalam diri kreator iklan. Nasionalisme dalam iklan terbangun bila konsep yang dilontarkan dapat diterima tanpa prasangka, dan dengan eksekusi visual yang tetap menempatkan nuasa-nuansa lokalitas sebagai acuan. Fenomena tersebut dapat dilihat dalam konsep promosi dari MTV (Kotler, 1998:327).
Dimensi lokalitas tidak berhenti pada karakter produk dengan menggunakan ‘embel-embel’ lokal, tetapi tercermin dari konsep dan eksekusi yang mampu menanamkan konsep-konsep budaya lokal yang lebih membumi. Prinsip ‘nasionalisme’ ini tidak diterjemahkan sebagai bentuk penolakan terhadap globalisasi, tetapi merupakan tindakan tidak menerima konsep-konsep global secara penuh dan tanpa koreksi (Bantey, 2002). Gejala tersebut dapat dilihat pada iklan-iklan yang menjuarai festival iklan Chanes Lion atau dalam ajang AdFest dalam lingkup Asia Fasifik. Kreativitas iklan-iklan non Eropa menunjukkan upaya kuat melakukan ‘counter’ terhadap konsep-konsep global yang cenderung homogen. Iklan-iklan Asia lebih banyak mengekploitasi karakter budaya Asia. Pada wilayah-wilayah tertentu produk-produk global tidak lagi dipandang dan ditempatkan sebagai salah satu simbol gaya hidup yang selalu dan perlu diagungkan. Budaya-budaya lokal pada wilayah-wilayah yang lebih luas, misalnya China, India, atau kawasan Eropa Timur, semangat menentang pengaruh Barat lebih terasa. Produk-produk dengan nuansa lokal mampu bersaing dengan produk global dengan lebih baik (Batey,2002: 299).
Gejala di sebagian besar wilayah Asia menunjukkan bahwa produk-produk global tetap diterima sebagai sebuah kewajaran.. Iklan-iklan pun tidak lagi berbicara mewakili subjektivitas korporasi transnasional, tetapi melihat produk global dari sudut pandang lokal.
Produk global pada gilirannya berupaya membidik pangsa pasar lokal dengan menampilkan atribut-atribut lokalitas. Fenomena ini merupakan upaya menanamkan konsep global secara sistematis dalam saluran-saluran lokal. Konsep-konsep global yang disalurkan diantaranya melalui produk-produk global dengan cita rasa lokal dapat dilihat sebagai upaya peleyapan batas-batas kultural secara sistematis. Pada konteks ini peran iklan sebagai pihak yang berkepentingan dalam saluran promosi menjadi penting. Iklan untuk produk global diharapkan mampu menjadi penyeimbang terhadap penetrasi produk global dalam pasar lokal, sehingga nilai lokalitas yang dituangkan dalam iklan global tidak mengakibatkan produk lokal kehilangan eksistensi.
DAFTAR RUJUKAN
Batey, Ian. 2002. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Clement, Kevin P. 1999. Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, Philip. 1998. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Prenhallindo.
Kristol, Irving, Hassner, Piere, dan Sestanovich, Stephen. 2001. Memotret Kanan Baru Tanggapan Atas The End of History Fukuyama. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor.
Ries, Al dan Jack Trout. 2002. Positioning The Battle for Your Mind. Jakarta: Salemba Empat.
Ries, Al dan Ries, Laura. 2002. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Erlangga.
Trout, Jack. 2001. Big Brand Big Trouble. Jakarta: Erlangga.
PRODUK GLOBAL DALAM WACANA LOKALITAS IKLAN GLOBAL
MAKALAH
Disampaikan dalam Seminar Jurusan Seni dan Desain
Tanggal 27 Mei 2004
Oleh:
Rudi Irawanto
NIP. 132282572
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SENI DAN DESAIN
Mei 2004
* Rudi Irawanto, dosen Jurusan Seni dan Desain FS - UM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar