Kamis, 23 Agustus 2007
KAPITALISME BUDAYA DALAM IKLAN LINTAS NEGARA
oleh: Rudi Irawanto[1]
Abstrak
Globalisasi telah memasuki wilayah ekonomi dan kebudayaan. Globalisasi budaya diwujudkan dalam konsep budaya massa, dan mempergunakan saluran media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Konsep global tentang kebudayaan pada praktiknya merupakan upaya sistematis subordinasi terhadap kebudayaan-kebudayaan di luar Barat. Globalisasi perekonomian diwujudkan dalam konsep perdagangan bebas. Beroperasinya konsep liberalisasi perdagangan tersebut pada gilirannya akan melahirkan bazar budaya global konsep dan cita rasa global, mengingat konsep-konsep tentang globalisasi perdagagan berakar pada kepentingan korporasi multinasinal dengan menggunakan media massa sebagai salah satu elemennya. Media massa menjadi media propaganda kepentingan perangkat kapitalis, yang pada praktiknya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan korporasi multinasional. Iklan-iklan lintas negara menjadi salah satu elemen penting dalam proses populerisasi gaya hidup baru yang diciptakan oleh korporasi multinasional tersebut. Proses ini pada hakekatnya merupakan bentuk dari kapitalisme kebudayaan.
Kata Kunci: Globalisasi, Kapitalisme Budaya, Iklan Lintas Negara
Globalisasi merupakan proses pembentukan struktur kebudayaan seragam yang cenderung permisif terhadap penetrasi kekuatan-kekuatan eksternal. Proses ini pada prakteknnya menuntut biaya kultural yang tinggi. Globalisasi senantiasa melegalkan proses hegemoni kekuatan-kekuatan dominatif yang cenderung menindas. Proses globalisasi pada umumnya dilakukan dalam dua cara yaitu melalui proses pemaksaan dan pembujukan (persuasi). Proses pemaksaan lebih sering dijumpai pada situasi pelanggenggan kekuasaan secara politis dan sosial. Proses persuasi lebih banyak dijumpai pada aplikasi kebijakan dalam ranah sosiobudaya maupun ekonomi.
Praktik-praktik hegemoni tidak hanya dilakukan oleh perangkat kekuasaan negara, tetapi juga oleh korporasi multinasional yang lepas dari batasan wilayah geopolitis. Korporasi multinasional menjadi perwujudan kekuatan baru yang menggantikan peran dan dominasi negara. Sistem kekuasaan korporasi multinasional tidak disalurkan secara represif, tetapi diwujudkan dalam bentuk propaganda budaya konsumerisme. Keberadaan korporasi multinasional yang melakukan desentralisasi dengan memindahkan pusat pengendalian wilayahnya ke wilayah lokal, pada gilirannya mendorong percepatan universalisme budaya dan membentuk cita rasa global (global taste).
Kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional disalurkan melalui kampanye periklanan lintas negara. Bentuk periklanan lintas negara (baik yang bersifat global maupun regional) menjadi salah satu wahana untuk membentuk bazar budaya global (the global cultural bazaar) dan cita rasa global (global taste). Bazar budaya global pada hakekatnya merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang besar. Bazar budaya global merupakan istilah dari Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa dan citra budaya Barat ke seluruh penjuru dunia ( Hadiwinata, 2001).
Bazar budaya global dikampanyekan melalui proses persuai yang sistematis. Kegiatan pemasaran dan periklanan lintas negara yang agresif berperan besar dalam membentuk satu cita rasa global (global taste) tersebut. Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi kuat penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu penanda modernisasi.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan. Konsep-konsep pemasaran global menawarkan sebuah cita rasa global, yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip setempat (lokal). Iklan lintas negara menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global dan menjadi bagian dalam sistem perputaran kapital baik secara ekonomi maupun kebudayaan (culture capital).
Kontradiksi Kultur Global
Globalisasi mulai mengemuka semenjak tahun 1960-an, pada saat industrialisasi memasuki wilayah-wilayah kebudayaan yang melahirkan kelompok-kelompok kelas menengah baru. Penetrasi industri dalam wilayah kebudayaan sebenarnya telah terjadi semenjak akhir abad ke-19. Fenomena tersebut telah melahirkan formulasi budaya massa, merupakan sebuah produk kebudayaan yang dibingkai dengan kepentingan industrialisasi. Karakter budaya massa menggiring pada semangat konsumerisme yang dimotori oleh keberadaan fasilitas modern yang serba instan. Kebudayaan tidak dilihat sebagai himpunan artefak yang sarat norma dan etika, tetapi menjadi perwujudan semangat modernisme yang dikemas dalam bentuk tindakan dan tanda-tanda konsumtif.
Komersialisi kebudayaan yang menyuburkan fenomena budaya massa (mass culture) senantiasa berpijak pada selera massa dengan meletakkan selera “Amerikanisme” sebagai tolok ukur. Budaya massa menuntut keseragaman dalam selera dan cita rasa, menumbuhkan sifat konsumerisme, yang mempergunakan kriteria dan standart modernisasi (baru) yang terlepas dari aspek makna dan nilai-nilai konvensional. Budaya massa merupakan salah satu bentuk dari budaya satu dimensi (one dimensional culture), merupakan kebudayaan yang dibentuk oleh dimensi materi, tanda, permukaan, dan imanensi semata (Pilliang, 2001).
Bentuk budaya baru, misalnya dalam pola budaya satu dimensi, menempatkan nilai-nilai baru yang sebagian besar bersumber dari Barat dan cenderung mengabaikan norma-norma tradisional (Timur). Nilai-nilai budaya tradisonal yang menghasilkan corak kebudayaan yang sarat dengan aspek refleksi (reflection), aspek perenungan diri (self criticism), dan dimensi pengendapan (sublation) menjadi terabaikan (Pilliang, 2001). Walaupun nilai-nilai baru yang ditawarkan budaya global merupakan reaksi terhadap budaya tradisional pada umumnya, tetapi kesan yang melihat nilai-nilai baru bersumber dari nilai-nilai Barat tidak dapat dihindari. Nilai-nilai Barat tetap menjadi panutan dan menjadi penyumbang terbesar dalam culture capital. Prinsip ini secara perlahan dan sistematis berupaya membunuh karakter budaya di luar Barat.
Fenomena bazar budaya global (the global cultural bazaar), senantiasa menempatkan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut ditandai dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi baru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status.
Appadurai, seorang postkolonialis dari India, dalam bahasannya tentang globalisasi menguraikan 5 gejala global culture, yang pada prinsipnya memperlihatkan dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ke tiga. Negara-negara berkembang diposisikan sebagai konsumen yang senantiasa melihat barat sebagai indikator setiap kemajuan. Kemajuan diidentikan dengan kesuksesan dalam pencapaian stabilisasi perekonomian. Premis fundamental modernisme ini sebenarnya berpangkal pada ideologi idealisme kapitalisme industri, yang percaya bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan membangun sebuah orde Baru. Orde yang mengarah pada gejala universalisme kebudayaan.
Budaya global sebagaimana yang diungkap oleh Appadurai dapat dilihat sebagi bentuk imperialisme baru dengan menempatkan media massa sebagai kendaraan yang efektif. Kedudukan media massa sebagai bagian dari proses marginalisasi budaya diluar Barat diungkapkan lebih lanjut oleh Akbar S. Ahmed (1993). Ahmed mengguggat peran media massa modern yang cenderung memarginalisasi asumsi-asumsi tradisional, khususnya Islam. Media massa modern dipandang sebagai pencetus hegemoni nilai-nilai kebudayaan Amerika, yang secara vulgar senantiasa mengambarkan secara salah konsep-konsep kebijakan tradisional Timur.
Nilai-nilai Barat tetap menjadi rujukan dalam penyebaran nilai-nilai global. Berkaitan dengan hal tersebut, Gouldner mengungkapkan bahwa sebuah nilai dapat diterima secara global bila memiliki tingkat rasionalitas dan historisitas yang tinggi (Hadiwinata, 2001). Konsep ini melihat rasionalitas dapat diterima secara global bila terbebas dari pengaruh agama atau kepercayaan tertentu, bersifat kontekstual atau dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif. Berisifat historis bila nilai-nilai tersebut telah terdokumentasi dengan baik. Berangkat dari kerangka pikir tersebut, dapat dilihat hanya nilai-nilai dari Barat yang relevan.
Media Massa pada perkembangannya tidak semata-mata berperan sebagi pembentuk jaringan ideologi dan fakta-fakta untuk merepresentasikan realitas, tetapi juga telah mereproduksi realitas. Kekuatan media ditunjukkan dengan fenomena realitas-realitas semu yang lebih cepat diterima masyarakat dari pada realitas sebenarnya. Realitas semu yang ditawarkan media massa berperan dalam menanamkan hegemoni kebudayaan Amerika (Barat), sehingga konsep-konsep dan ideologi Barat memperoleh legitimasi. Pada konteks ini media berperan sebagai katalisator pertukaran nilai tanda-tanda komoditi dalam sistem kapitalisme lanjut.
Media massa (Barat) sering dilihat sebagai bagian dari proses imperialisme baru. Proses ini melihat media sebagai bagian dari pola subordinasi dan eksploitasi pada kelompok-kelompok marginal (negara dunia ketiga). Fenomena ini diutarakan oleh Edward Said sebagai bentuk imperialisme budaya (1993). Imperilisme yang cenderung dilakukan oleh kekuatan dominan Barat terhadap Timur. Proses imperialisme budaya pada praktiknya lebih sering terjadi pada struktur budaya yang pernah mengalami sistem kolonialisasi dan imperialisme. Proses kolonialsiasi dan imperialisme yang telah terjadi menciptakan kondisi traumatik yang berkepanjangan. Struktur kebudayaan baru yang hendak dibangun masih dibayangi oleh ketakutan terhadap masa lalu, sehingga relatif rentan terhadap penetrasi budaya dari luar (Gandhi, 2001).
Kuatnya hegemoni budaya Barat terhadap struktur budaya negara-negara dunia ketiga selain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi pasca perang dunia II, juga didorong oleh sifat negara-negara tersebut, khususnya di Asia yang cenderung semi feodal dan semi kapitalis. Roxborough (1986) melihat terjadinya kerancuan ideologis dan masa transisi yang menyebabkan negara-negara non Barat tertinggal secara ekonomi dan ideologi. Pertemuan antara sektor tradisonal dan modern negara-negara non barat cenderung menimbulkan penghisapan terhadap sektor-sektor yang lebih lemah. Pada konteks ini sektor-sektor tradisional menjadi terbelakang, tidak terdapat kesinambungan yang konsisten antara kedua sektor tersebut.
Media massa dalam konteks budaya global berupaya mengusung ideologi dan ide-ide pencerahan Barat ke negara-negara dunia ketiga, yang pada gilirannya akan menggeser prinsip-prinsip kebijakan tradisional setempat. Fenomena ini yang sejak semula membuahkan kontradiksi, utamanya kontradiksi kultural antara Barat dan Timur. Paradigma kosmologi Barat diletakkan pada unsur keraguan dalam menyikapi perkembangan, sedangkan kosmologi Timur ditentukan oleh keyakinan akan kepastian terhadap segala sesuatu. Konsep-konsep kebajikan Timur senantiasa dikembangkan pada nilai-nilai teologis, berbeda dengan Barat yang menjadikan kemampuan akal budi sebagai titik pusat segala pengetahuan. Perbedaan paradigma tersebut yang kerap melahirkan paradoks dan kontradiksi. Posisi hegemoni Barat dalam struktur kebudayaan dunia selain disebabkan oleh lemahnya struktur kebudayaan Timur, juga ditunjang dengan sifat budaya Barat, utamanya pada pasca renaisans, yang cenderung sekuler.
Kapitalisme Ekonomi dan Media
Penerapan paham kapitalisme diyakini sebagai kunci penyelesaiaan segenap persoalan perekonomian, utamanya pada negara-negara dunia ketiga. Konsep kapitalisme bagi para penganutnya merupakan salah satu pembenaran dalam teori Social Darwinism dari Herbert Spencer (Lamm, 1988). Sebuah paham yang melegitimasi konsep “saling menangsa” dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Kapitalisme dan globalisasi merupakan satu mata rantai yang saling terkait. Globalisasi yang bermula dari manufaktur, perdagangan dan akhirnya pada sektor jasa, merupakan rangkain konsep dalam kapitalisme lanjut (advanced capitalism). Globalisasi setidaknya mencakup 3 hal, yaitu kapitalisme lanjut (advanced capitalism), budaya postmodernisme (postmodern culture), dan budaya cyberspace (cyber culture) (Pilliang, 2001).
Fenomena kapitalisme pada perkembangannya banyak mendapat kritikan, tidak terkecuali dari para pemikir Barat itu sendiri. Kubu marxis melihat kapitalisme sebagai sistem yang kehilangan rasa kemanusiaan. Kapitalisme tidak semata-mata beroperasi dalam relasi ekonomi, tepai telah menciptakan relasi budaya dominan dan subordinatif. Marx melihat dalam struktur masyarakat kapitalis memungkinkan sebuah budaya dominan dijadikan standar yang dianut dalam struktur masyarakat tersebut. Proses ini yang disinyalir oleh Antonio Gramsci, seorang penganut filsafat praxis, sebagai bentuk hegemonik kultural, merupakan bentuk penyerahan struktur kebudayaan tertentu dalam kekangan kebudayaan dominan.
Pada paparan yang lain, Gramsci melihat kapitalisme sebagai sistem yang secara struktural menempatkan kekerasan tidak hanya pada dimensi perangkat-perangkat ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga pada tingkat hegemoni idiologis. Sistem kapitalisme membangun kelas penguasa, sehingga keberadaannya memperoleh legitimasi ideologis. Kekawatiran serupa diungkapkan oleh Emile Durkheim, yang melihat kapitalisme sebagai salah satu pemicu pribadi-pribadi egois yang secara sistematis mulai tercabut dari akar sosialnya. Sosok kapitalis di mata Durkeim berada pada tepi jurang kehancuran yang siap menghacurkan individu-individu dalam kehidupan industri yang tidak memiliki pegangan hidup. Kritik terhadap kapitalisme pada prinsipnya merupakan oto kritik terhadap wilayah kebudayaan Barat itu sendiri. Hossein Nasr (2001) seorang cendekiawan muslim di luar Barat, melihat bahwa peradaban Barat telah mengalamai krisis metafisis, sehingga diperlukan kembali penggalian prinsip-prinsip kearifan tradisional.
Globalisasi ekonomi, salah satu bentuknya tertuang dalam konsep liberalisasi perdagangangan. Proses liberalisasi ini memaksa negara-negera tertentu berpartisipasi dalam kesepakatan perdagangan global maupun regional. Konsep perdagangan bebas yang tidak mengenal batasan-batasan politis dan nasionalisme. Konsep perdagangan bebas pada hakekatnya ditawarkan oleh kekuatan-kekuatan multinasional yang secara finansial sulit tertandingi oleh kekuatan lokal.
Kapitalisme ekonomi sesungguhnya penuh dengan kontradiksi struktural. Sistem ini membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang mulai mengingkari eksistensinya, yang pada gilirannya menghasilkan resistensi sosio kultural. Liberalisasi perdagangan, sebagai contoh, lebih banyak membuahkan kesenjangan dari pada proses pemerataan ekonomi sebagaimana yang digagas semula (Hadiwinata, 2001). Pada praktiknya kekuatan yang sanggup bertahan di era perdagangan bebas hanyalah kekuatan-kekuatan transnasional yang memiliki akses kuat untuk menguasai pasar.
Ide membuka kesempatan lebar dan setara untuk memicu persaingan bebas dalam sektor perdagangan di era liberalisasi perdagangan lebih bermakna politis yang sarat dengan motivasi idiologis, daripada dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Proses ini pada praktiknya menunjukkan ketangguhan dominasi kekuatan multinasional, yang disalurkan melalui proses marginalisasi kekuatan perekonomian lokal. Fenomana pengambilalihan beberapa perusahaan lokal oleh kekuatan multinasional, mengidikasikan menyerahanya kekuatan ekonomi nasional dalam cengkeraman kekuatan multinasional tersebut. Proses globalisasi senantiasa memunculkan kekuatan dominatif dalam segala bentuknya. Kekuatan dominatif tersebut beroperasi dibalik idiologi tertentu, yang pada gilirannya melahirkan struktur masyarakat yang konsumtif dan cenderung bebas nilai, sebagaimana yang tergambar dalam fenomena shoping mall.
Appadurai (dalam Malik, 1993) mengungkapkan bahwa proses infiltrasi globalisasi pada negara-negara pinggiran (di luar Barat) semakin tajam melalui keberadaan media massa sebagai alat untuk memanipulasi fakta-fakta. Ideologi pencerahan Barat yang beroperasi dibalik jaringan media massa memperoleh saluran legal. Media menyebarkan manipulasi pesan yang memuat isyu-isyu tentang kapitalisme, imperilisme budaya, dominasi budaya, hingga homogenisasi budaya yang tidak mampu dilawan oleh media lokal. Fenomena mediascapes, yaitu melimpahnya arus informasi melalui media keseluruh dunia merupakan salah satu gejala dari globalisasi, yang pada gilirannya menjadikan gaya hidup serba Amerika sebagai panutan.
Proses penyebaran gaya hidup yang diciptakan oleh media menujukkan kekuatan media sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial. Gaya hidup diciptakan sebagai bagian dari perangkap ekonomi kapitalis. Kapitalisme ekonomi memerlukan dukungan kultural untuk menjalankan misinya. Pada kontek tersebut media massa berperan sebagai bagian dari proses pembentuk konstruksi sosial.
Teori triple M menyiratkan hubungan kausalitas antara terbentuknya budaya massa yang mengakar pada kapitalisme global, dengan media massa yang melakukan penetrasi pada masyarakat massa (Mowlana, 1993). Teori ini mengandaikan hubungan signifikan antara peran media massa (mass media) pada masyarakat massa (mass society) dan budaya massa (mass culture), dalam membentuk suatu struktur kebudayaan. Teori ini menyakini bahwa meningkatnya industrialisai dan urbanisasi, monopoli budaya tradisional yang berkiblat pada kalangan aristrokrat dihancurkan oleh budaya rakyat (folk culture) (Mowlana, 1993). Budaya rakyat merupakan kumpulan budaya yang berpusat satu bentuk komunikasi oleh sekelompok golongan tertentu yang berbeda dan dipersatukan oleh nilai-nilai dan kepentingan tertentu. Budaya massa acap kali digunakan sebagai penanda kontradiksi dalam sistematika kebudayaan yang cenderung diskriminatif tersebut. Kategorisasi tersebut diantaranya kontradiksi konsep high culture dengan populer culture, highbrow dengan lowbow, atau kontradiksi antara avant-garde dengan kitsch. Konsep tentang budaya massa sebagi produk kapitalisme dan diluncurkan oleh kekuatan industri senatiasa melibatkan media massa sebagai salah satu elemen utamanya.
Bagi para penganut teori ekonomi politik, yang sebagin besar berasal dari kalangan neo-marxis, menolak peranan total media massa dalam membentuk konstruksi sosial. Media massa semata-mata dianggap tidak memiliki kekuatan memadahi untuk menghasilkan sosok utuh budaya massa yang berkiblat pada kepentingan kapitalisme. Media massa dinilai sebagai saluran yang membawa berbagai muatan budaya, dan di dalamnya hanya memuat sebagian asumsi tentang karakter massa. Sebuah budaya massa hanya dapat terbentuk bila struktur kehidupan sosial suatu masyarakat telah memiliki kondisi yang cukup untuk menerima bentuk budaya yang seragam (uniform).
Saluran Globalisasi dan Kapitalisme
Konsep periklanan lintas negara mewujudkan ide-idenya melalui bentuk-bentuk iklan yang cenderung bebas nilai. Konsep ini mencoba mentrasformasi fenomena permainan rasa (passion game) dalam ide-ide periklanannya. Passion game merupakan upaya mempermainkan perasaan masyarakat untuk mendukung kelangsungan sebuah sistem budaya dominan (Said, 1994). Sistem budaya dominan dalam era global cenderung mengarah pada bentuk kebudayaan yang berkiblat pada kepentingan korporasi multinasional.
Kebudayaan dominan tidak selalu mengarah pada satu sistem budaya elit Barat semata-mata. Kebudayaan dominan dalam era global lebih berbentuk budaya massa yang tidak memiliki akar pada kebudayaan elit. Budaya massa tidak lahir dari konstruksi budaya aristokrat, tetapi dilahirkan oleh penetrasi industri dan media dalam struktur kebudayaan rakyat (folk culture). Fokl culture dilahirkan oleh penyatuan kepentingan dan mempergunakan media sebagai katalisatornya. Kepentingan-kepentingan media dan korporasi multinasional relatif lebih mudah masuk dalam jaringan kebudayaan ini. Kebudayaan rakyat tidak memiliki pijakan yang kokoh, sehingga memudahkan penetrasi karakter massa yang ditopang oleh penyatuan kepentingan temporer. Kondisi tersebut menyebabkan karakter folk culture memiliki siklus hidup yang relatif pendek.
Periklanan lintas negara dibangun berdasarkan sikap membuka diri terhadap karakter budaya massa yang tidak memiliki wilayah geografis formal. Analisa semiotika pada iklan global menunjukan kedekatan hubungannya antara pola konsumerisme yang tertuang dalam manifestasi gaya hidup dengan pergeseran penafsiran terhadap tanda-tanda yang menjadi ciri gaya hidup tersebut. Budaya massa membangun dirinya bersandar pada kepentingan masyarakat massa. Fleksibilitas tersebut menciptakan karakter budaya yang sangat longgar dan rentan terhadap nilai-nilai baru.
Nilai-nilai baru hanya dapat tersalurkan dengan cepat pada struktur kebudayaan yang cenderung sekuler. Pada tataran ini dapat dilihat kedekatan fenomena budaya massa dengan konsep kebudayan Barat yang cenderung sekuler. Penyebaran budaya massa sebagai salah satu imbas dari globalisasi sering kali dilihat sebagai upaya “westernisasi”, walaupun karakter budaya massa tidak sepenuhnya menjadikan Barat sebagai acuan.
Karakter budaya massa sebagai salah satu tema dalam periklanan lintas negara, utamanya pada tema-tema iklan global, pada prinsipnya merupakan upaya mencari satu titik temu dari berbagai karakter budaya lokal yang beragam. Budaya lokal dalam konteks ini dipahami sebagai bentuk kebudayaan tradisional yang bermuara pada kriteria elitis aristokrasi setempat. Budaya massa seperti halnya pada bentuk-bentuk populer menempatkan selera publik sebagai acuan. Selera dominan menjadi panutan, yang pada gilirannya menjadikannya kriteria acuan yang cenderung mengabaikan protes dan tututan kritis (Defleur, 1993).
Iklan dari pihak korporasi multinasional cenderung menggeser asumsi-asumsi tradisional. Pesan verbal maupun visual dari iklan lintas negara menjadi perpanjangan tangan sistem pertukaran nilai, yang menggiring penikmatnya (audiens) pada satu selera. Selera yang dibangun dalam periklanan lintas negara bermuara pada pembebasan hasrat dari kekangan aturan-aturan tradisional. Fenomena shopping maall, sebagai contoh, berangkat dari asumsi yang meletakan simbol-simbol modernitas pada tataran yang lebih tinggi dibandingkan simbol status konvensional. Nilai-nilai normatif diletakkan pada level kepemilikan terhadap benda-benda. Pada tataran ini fungsi benda dipertukarkan dengan fungsi tanda yang dibawa benda tersebut. Nilai fungsi (utilitas) termarginalisasi oleh citra yang diciptakan. Kampanye gaya hidup yang mengarah pada situasi global culture bazaar tersebut, dijalankan secara sistematis.
Respon terhadap iklan lintas negara menjadi sangat beragam, pada saat iklan menjadi mediasi penyebaran budaya massa atau budaya populer, yang dirasakan mengancam eksistensi ekspresi budaya tradisional. Ancaman budaya massa tidak terletak dari kemampuannya untuk merusak hierarki struktur kebudayaan yang telah mapan, tetapi terletak pada kemampuannya untuk menawarkan nilai-nilai baru yang tidak permanen. Sekulerisme yang menjadi salah satu aspek dalam struktur budaya massa, pada hakekatnya merupakan bentuk penentangan terhadap kebekuan pola normatif dari sebuah budaya, utamanya pada ekspresi kebudayaan di luar Barat.
Kekuatan iklan terletak pada kemampuannya untuk memberikan citra tertentu pada sebuah produk (Jefkin, 1997). Melalui citra-citra yang terbentuk produk-produk memiliki kekuatan untuk membangun status sosialnya. Situasi tersebut diperlukan mengingat produk-produk tidak menawarkan utilitas tetapi menawarkan status sosial. Gaya hidup dalam global culture bazaar lebih mementingkan jalinan citra-citra daripada aspek fungsional. Iklan lintas negara berupaya mewujudkan citra-citra tersebut melalui komoditi yang ditawarkannya. Komoditi global tidak mengemban nilai-nilai normatif, tetapi membentuk kelompok nilai-nilai baru yang berpusat pada dimensi hasrat (desire).
Fenomena iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, sebagai mediasi cita rasa global pada praktiknya membuahkan respon yang beragam. Kaum neo-maxis melihat bahwa periklanan global tidak menjadi satu-satunya faktor yang mendorong percepatan globalisasi dalam membentuk cita rasa global. Kalangan neo-marxis mencoba mencari pendekatan baru dalam melihat relasi antara produksi dan konsumsi ini. Kampanye tentang kapitalisme yang secara ekplisit disalurkan melalui media periklanan global, tidak memperoleh hasil yang memuaskan bila secara struktural masyarakat tidak siap menerimanya. Masyarakat dapat dengan cepat merespon pesan-pesan kapitalis yang tertuang dalam sektor populer, diakibatkan oleh situasi bergantungnya struktur budaya masyarakat tersebut pada sistem pasar, organisasi supra-personal, dan pada teknologi. Situasi ini menyebabkan seorang individu tidak mungkin melakukan isolasi dari aktivitas sosial dan produksi yang tengah terjadi. Pada konteks tersebut sektor-sektor populer memperoleh saluran yang tepat.
Terlepas dari respon yang beragam terhadap keberadaan iklan lintas negara, pada praktiknya memperlihatkan hubungan yang signifikan antara keberaan iklan sebagai pembentuk jalinan gaya hidup tertentu. Celia Lury (1998: 88) mengungkapkan bahwa iklan merupakan bagian penting dalam pembentukan gaya hidup. Iklan menjadi alat produsen untuk memanipulasi konsumen, dalam menciptakan kebutuhan artifisial. Pada akhir penjelasannya Lury melihat bahwa praktik-praktik periklan telah menciptakan ruang untuk merefleksikan gaya hidup.
Gaya hidup merupakan salah satu elemen dalam budaya Shoping mall di era global, yang didalamnya lebih menawarkan kebutuhan artifisial dan menonjolkan aspek bentuk daripada isi.
Penutup
Fenomena periklanan lintas negara senantiasa berkaitan dengan beroperasinya ideologi-idiologi konsumerisme. Iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, menawarkan nilai-nilai baru yang berkiblat pada struktur budaya massa. Iklan lintas negara walaupun menerapkan konsep-konsep Barat sebagai acuan, tetapi tidak dapat dilihat sebagai upaya westernisasi semata-mata.
Daftar Rujukan
Ahmed, Akbar S. 1993. Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Budimana, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Defleur, Mervin L dan Dennis, Everette. 1993. Perdebatan Mengenai Budaya Masaa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Hadiwinata, Bob S. 2001. Globalisasi Kultural dan Peran Perguruan Tinggi Berbasis Seni. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1996. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: Prehallindo.
Laam, Robert C (ed). 1988. The Humanities in Western Culture A Search for Human Value. Iowa: Wm C. Publishers.
Larain, Jorge. 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Malik, Dedy Jamaluddin. 1993. Pengantar Komunikasi dan Budaya Massa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mowlana, Hamid dan Wilson, Laurie J. 1993. Budaya Masyarakat dan Komunikasi. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Islam dan Krisis Lingkungan. Dalam Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam No. 3 Januari-Maret 1994. Bandung: Mizan.
Pilliang, Yasraf A. 2001. Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya terhadap Tatanilai Seni Rupa. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Roxborough, Ian. 1986. Teori-teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES.
Said, Edward. 1993. Kebudayaan dan Kekuasaan Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan.
[1] Rudi Irawanto. Dosen Jurusan Seni dan Desain- Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang.
oleh: Rudi Irawanto[1]
Abstrak
Globalisasi telah memasuki wilayah ekonomi dan kebudayaan. Globalisasi budaya diwujudkan dalam konsep budaya massa, dan mempergunakan saluran media massa untuk mempengaruhi masyarakat. Konsep global tentang kebudayaan pada praktiknya merupakan upaya sistematis subordinasi terhadap kebudayaan-kebudayaan di luar Barat. Globalisasi perekonomian diwujudkan dalam konsep perdagangan bebas. Beroperasinya konsep liberalisasi perdagangan tersebut pada gilirannya akan melahirkan bazar budaya global konsep dan cita rasa global, mengingat konsep-konsep tentang globalisasi perdagagan berakar pada kepentingan korporasi multinasinal dengan menggunakan media massa sebagai salah satu elemennya. Media massa menjadi media propaganda kepentingan perangkat kapitalis, yang pada praktiknya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan korporasi multinasional. Iklan-iklan lintas negara menjadi salah satu elemen penting dalam proses populerisasi gaya hidup baru yang diciptakan oleh korporasi multinasional tersebut. Proses ini pada hakekatnya merupakan bentuk dari kapitalisme kebudayaan.
Kata Kunci: Globalisasi, Kapitalisme Budaya, Iklan Lintas Negara
Globalisasi merupakan proses pembentukan struktur kebudayaan seragam yang cenderung permisif terhadap penetrasi kekuatan-kekuatan eksternal. Proses ini pada prakteknnya menuntut biaya kultural yang tinggi. Globalisasi senantiasa melegalkan proses hegemoni kekuatan-kekuatan dominatif yang cenderung menindas. Proses globalisasi pada umumnya dilakukan dalam dua cara yaitu melalui proses pemaksaan dan pembujukan (persuasi). Proses pemaksaan lebih sering dijumpai pada situasi pelanggenggan kekuasaan secara politis dan sosial. Proses persuasi lebih banyak dijumpai pada aplikasi kebijakan dalam ranah sosiobudaya maupun ekonomi.
Praktik-praktik hegemoni tidak hanya dilakukan oleh perangkat kekuasaan negara, tetapi juga oleh korporasi multinasional yang lepas dari batasan wilayah geopolitis. Korporasi multinasional menjadi perwujudan kekuatan baru yang menggantikan peran dan dominasi negara. Sistem kekuasaan korporasi multinasional tidak disalurkan secara represif, tetapi diwujudkan dalam bentuk propaganda budaya konsumerisme. Keberadaan korporasi multinasional yang melakukan desentralisasi dengan memindahkan pusat pengendalian wilayahnya ke wilayah lokal, pada gilirannya mendorong percepatan universalisme budaya dan membentuk cita rasa global (global taste).
Kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional disalurkan melalui kampanye periklanan lintas negara. Bentuk periklanan lintas negara (baik yang bersifat global maupun regional) menjadi salah satu wahana untuk membentuk bazar budaya global (the global cultural bazaar) dan cita rasa global (global taste). Bazar budaya global pada hakekatnya merupakan sebuah praktik budaya yang tidak mengenal batas-batas kultural dan geografis. Konsep ini digulirkan secara sistematis oleh korporasi multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang besar. Bazar budaya global merupakan istilah dari Cavanagh untuk menggambarkan penyebaran secara cepat cita rasa dan citra budaya Barat ke seluruh penjuru dunia ( Hadiwinata, 2001).
Bazar budaya global dikampanyekan melalui proses persuai yang sistematis. Kegiatan pemasaran dan periklanan lintas negara yang agresif berperan besar dalam membentuk satu cita rasa global (global taste) tersebut. Fenomena budaya shopping mall merupakan salah satu indikasi kuat penetrasi bazar budaya global dalam masyarkat kita. Shopping mall menawarkan sebuah cita rasa baru, yang diyakini sebagai salah satu penanda modernisasi.
Konsep-konsep global, baik yang tergambar dalam aktivitas shopping maal ataupun dalam bentuk pola-pola konsumerisme lainnya sangat berkaitan dengan agresifitas pemasaran dan periklanan. Konsep-konsep pemasaran global menawarkan sebuah cita rasa global, yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip setempat (lokal). Iklan lintas negara menjadi salah satu saluran untuk membentuk cita rasa global dan menjadi bagian dalam sistem perputaran kapital baik secara ekonomi maupun kebudayaan (culture capital).
Kontradiksi Kultur Global
Globalisasi mulai mengemuka semenjak tahun 1960-an, pada saat industrialisasi memasuki wilayah-wilayah kebudayaan yang melahirkan kelompok-kelompok kelas menengah baru. Penetrasi industri dalam wilayah kebudayaan sebenarnya telah terjadi semenjak akhir abad ke-19. Fenomena tersebut telah melahirkan formulasi budaya massa, merupakan sebuah produk kebudayaan yang dibingkai dengan kepentingan industrialisasi. Karakter budaya massa menggiring pada semangat konsumerisme yang dimotori oleh keberadaan fasilitas modern yang serba instan. Kebudayaan tidak dilihat sebagai himpunan artefak yang sarat norma dan etika, tetapi menjadi perwujudan semangat modernisme yang dikemas dalam bentuk tindakan dan tanda-tanda konsumtif.
Komersialisi kebudayaan yang menyuburkan fenomena budaya massa (mass culture) senantiasa berpijak pada selera massa dengan meletakkan selera “Amerikanisme” sebagai tolok ukur. Budaya massa menuntut keseragaman dalam selera dan cita rasa, menumbuhkan sifat konsumerisme, yang mempergunakan kriteria dan standart modernisasi (baru) yang terlepas dari aspek makna dan nilai-nilai konvensional. Budaya massa merupakan salah satu bentuk dari budaya satu dimensi (one dimensional culture), merupakan kebudayaan yang dibentuk oleh dimensi materi, tanda, permukaan, dan imanensi semata (Pilliang, 2001).
Bentuk budaya baru, misalnya dalam pola budaya satu dimensi, menempatkan nilai-nilai baru yang sebagian besar bersumber dari Barat dan cenderung mengabaikan norma-norma tradisional (Timur). Nilai-nilai budaya tradisonal yang menghasilkan corak kebudayaan yang sarat dengan aspek refleksi (reflection), aspek perenungan diri (self criticism), dan dimensi pengendapan (sublation) menjadi terabaikan (Pilliang, 2001). Walaupun nilai-nilai baru yang ditawarkan budaya global merupakan reaksi terhadap budaya tradisional pada umumnya, tetapi kesan yang melihat nilai-nilai baru bersumber dari nilai-nilai Barat tidak dapat dihindari. Nilai-nilai Barat tetap menjadi panutan dan menjadi penyumbang terbesar dalam culture capital. Prinsip ini secara perlahan dan sistematis berupaya membunuh karakter budaya di luar Barat.
Fenomena bazar budaya global (the global cultural bazaar), senantiasa menempatkan Barat sebagai acuan. Konsep bazar budaya global bermula di Amerika (negara maju), dan secara cepat menggejala di tiap negara, tidak terkecuali pada negara-negara dunia ke tiga, yang secara kultural dan finansial relatif tertinggal. Fenomena tersebut ditandai dengan meluasnya penggunaan perangkat-perangkat instan produk teknologi baru sebagai simbol gaya hidup dan simbol status.
Appadurai, seorang postkolonialis dari India, dalam bahasannya tentang globalisasi menguraikan 5 gejala global culture, yang pada prinsipnya memperlihatkan dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ke tiga. Negara-negara berkembang diposisikan sebagai konsumen yang senantiasa melihat barat sebagai indikator setiap kemajuan. Kemajuan diidentikan dengan kesuksesan dalam pencapaian stabilisasi perekonomian. Premis fundamental modernisme ini sebenarnya berpangkal pada ideologi idealisme kapitalisme industri, yang percaya bahwa kemajuan hanya dapat dicapai dengan membangun sebuah orde Baru. Orde yang mengarah pada gejala universalisme kebudayaan.
Budaya global sebagaimana yang diungkap oleh Appadurai dapat dilihat sebagi bentuk imperialisme baru dengan menempatkan media massa sebagai kendaraan yang efektif. Kedudukan media massa sebagai bagian dari proses marginalisasi budaya diluar Barat diungkapkan lebih lanjut oleh Akbar S. Ahmed (1993). Ahmed mengguggat peran media massa modern yang cenderung memarginalisasi asumsi-asumsi tradisional, khususnya Islam. Media massa modern dipandang sebagai pencetus hegemoni nilai-nilai kebudayaan Amerika, yang secara vulgar senantiasa mengambarkan secara salah konsep-konsep kebijakan tradisional Timur.
Nilai-nilai Barat tetap menjadi rujukan dalam penyebaran nilai-nilai global. Berkaitan dengan hal tersebut, Gouldner mengungkapkan bahwa sebuah nilai dapat diterima secara global bila memiliki tingkat rasionalitas dan historisitas yang tinggi (Hadiwinata, 2001). Konsep ini melihat rasionalitas dapat diterima secara global bila terbebas dari pengaruh agama atau kepercayaan tertentu, bersifat kontekstual atau dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman, dan komunikatif. Berisifat historis bila nilai-nilai tersebut telah terdokumentasi dengan baik. Berangkat dari kerangka pikir tersebut, dapat dilihat hanya nilai-nilai dari Barat yang relevan.
Media Massa pada perkembangannya tidak semata-mata berperan sebagi pembentuk jaringan ideologi dan fakta-fakta untuk merepresentasikan realitas, tetapi juga telah mereproduksi realitas. Kekuatan media ditunjukkan dengan fenomena realitas-realitas semu yang lebih cepat diterima masyarakat dari pada realitas sebenarnya. Realitas semu yang ditawarkan media massa berperan dalam menanamkan hegemoni kebudayaan Amerika (Barat), sehingga konsep-konsep dan ideologi Barat memperoleh legitimasi. Pada konteks ini media berperan sebagai katalisator pertukaran nilai tanda-tanda komoditi dalam sistem kapitalisme lanjut.
Media massa (Barat) sering dilihat sebagai bagian dari proses imperialisme baru. Proses ini melihat media sebagai bagian dari pola subordinasi dan eksploitasi pada kelompok-kelompok marginal (negara dunia ketiga). Fenomena ini diutarakan oleh Edward Said sebagai bentuk imperialisme budaya (1993). Imperilisme yang cenderung dilakukan oleh kekuatan dominan Barat terhadap Timur. Proses imperialisme budaya pada praktiknya lebih sering terjadi pada struktur budaya yang pernah mengalami sistem kolonialisasi dan imperialisme. Proses kolonialsiasi dan imperialisme yang telah terjadi menciptakan kondisi traumatik yang berkepanjangan. Struktur kebudayaan baru yang hendak dibangun masih dibayangi oleh ketakutan terhadap masa lalu, sehingga relatif rentan terhadap penetrasi budaya dari luar (Gandhi, 2001).
Kuatnya hegemoni budaya Barat terhadap struktur budaya negara-negara dunia ketiga selain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi pasca perang dunia II, juga didorong oleh sifat negara-negara tersebut, khususnya di Asia yang cenderung semi feodal dan semi kapitalis. Roxborough (1986) melihat terjadinya kerancuan ideologis dan masa transisi yang menyebabkan negara-negara non Barat tertinggal secara ekonomi dan ideologi. Pertemuan antara sektor tradisonal dan modern negara-negara non barat cenderung menimbulkan penghisapan terhadap sektor-sektor yang lebih lemah. Pada konteks ini sektor-sektor tradisional menjadi terbelakang, tidak terdapat kesinambungan yang konsisten antara kedua sektor tersebut.
Media massa dalam konteks budaya global berupaya mengusung ideologi dan ide-ide pencerahan Barat ke negara-negara dunia ketiga, yang pada gilirannya akan menggeser prinsip-prinsip kebijakan tradisional setempat. Fenomena ini yang sejak semula membuahkan kontradiksi, utamanya kontradiksi kultural antara Barat dan Timur. Paradigma kosmologi Barat diletakkan pada unsur keraguan dalam menyikapi perkembangan, sedangkan kosmologi Timur ditentukan oleh keyakinan akan kepastian terhadap segala sesuatu. Konsep-konsep kebajikan Timur senantiasa dikembangkan pada nilai-nilai teologis, berbeda dengan Barat yang menjadikan kemampuan akal budi sebagai titik pusat segala pengetahuan. Perbedaan paradigma tersebut yang kerap melahirkan paradoks dan kontradiksi. Posisi hegemoni Barat dalam struktur kebudayaan dunia selain disebabkan oleh lemahnya struktur kebudayaan Timur, juga ditunjang dengan sifat budaya Barat, utamanya pada pasca renaisans, yang cenderung sekuler.
Kapitalisme Ekonomi dan Media
Penerapan paham kapitalisme diyakini sebagai kunci penyelesaiaan segenap persoalan perekonomian, utamanya pada negara-negara dunia ketiga. Konsep kapitalisme bagi para penganutnya merupakan salah satu pembenaran dalam teori Social Darwinism dari Herbert Spencer (Lamm, 1988). Sebuah paham yang melegitimasi konsep “saling menangsa” dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Kapitalisme dan globalisasi merupakan satu mata rantai yang saling terkait. Globalisasi yang bermula dari manufaktur, perdagangan dan akhirnya pada sektor jasa, merupakan rangkain konsep dalam kapitalisme lanjut (advanced capitalism). Globalisasi setidaknya mencakup 3 hal, yaitu kapitalisme lanjut (advanced capitalism), budaya postmodernisme (postmodern culture), dan budaya cyberspace (cyber culture) (Pilliang, 2001).
Fenomena kapitalisme pada perkembangannya banyak mendapat kritikan, tidak terkecuali dari para pemikir Barat itu sendiri. Kubu marxis melihat kapitalisme sebagai sistem yang kehilangan rasa kemanusiaan. Kapitalisme tidak semata-mata beroperasi dalam relasi ekonomi, tepai telah menciptakan relasi budaya dominan dan subordinatif. Marx melihat dalam struktur masyarakat kapitalis memungkinkan sebuah budaya dominan dijadikan standar yang dianut dalam struktur masyarakat tersebut. Proses ini yang disinyalir oleh Antonio Gramsci, seorang penganut filsafat praxis, sebagai bentuk hegemonik kultural, merupakan bentuk penyerahan struktur kebudayaan tertentu dalam kekangan kebudayaan dominan.
Pada paparan yang lain, Gramsci melihat kapitalisme sebagai sistem yang secara struktural menempatkan kekerasan tidak hanya pada dimensi perangkat-perangkat ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga pada tingkat hegemoni idiologis. Sistem kapitalisme membangun kelas penguasa, sehingga keberadaannya memperoleh legitimasi ideologis. Kekawatiran serupa diungkapkan oleh Emile Durkheim, yang melihat kapitalisme sebagai salah satu pemicu pribadi-pribadi egois yang secara sistematis mulai tercabut dari akar sosialnya. Sosok kapitalis di mata Durkeim berada pada tepi jurang kehancuran yang siap menghacurkan individu-individu dalam kehidupan industri yang tidak memiliki pegangan hidup. Kritik terhadap kapitalisme pada prinsipnya merupakan oto kritik terhadap wilayah kebudayaan Barat itu sendiri. Hossein Nasr (2001) seorang cendekiawan muslim di luar Barat, melihat bahwa peradaban Barat telah mengalamai krisis metafisis, sehingga diperlukan kembali penggalian prinsip-prinsip kearifan tradisional.
Globalisasi ekonomi, salah satu bentuknya tertuang dalam konsep liberalisasi perdagangangan. Proses liberalisasi ini memaksa negara-negera tertentu berpartisipasi dalam kesepakatan perdagangan global maupun regional. Konsep perdagangan bebas yang tidak mengenal batasan-batasan politis dan nasionalisme. Konsep perdagangan bebas pada hakekatnya ditawarkan oleh kekuatan-kekuatan multinasional yang secara finansial sulit tertandingi oleh kekuatan lokal.
Kapitalisme ekonomi sesungguhnya penuh dengan kontradiksi struktural. Sistem ini membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang mulai mengingkari eksistensinya, yang pada gilirannya menghasilkan resistensi sosio kultural. Liberalisasi perdagangan, sebagai contoh, lebih banyak membuahkan kesenjangan dari pada proses pemerataan ekonomi sebagaimana yang digagas semula (Hadiwinata, 2001). Pada praktiknya kekuatan yang sanggup bertahan di era perdagangan bebas hanyalah kekuatan-kekuatan transnasional yang memiliki akses kuat untuk menguasai pasar.
Ide membuka kesempatan lebar dan setara untuk memicu persaingan bebas dalam sektor perdagangan di era liberalisasi perdagangan lebih bermakna politis yang sarat dengan motivasi idiologis, daripada dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Proses ini pada praktiknya menunjukkan ketangguhan dominasi kekuatan multinasional, yang disalurkan melalui proses marginalisasi kekuatan perekonomian lokal. Fenomana pengambilalihan beberapa perusahaan lokal oleh kekuatan multinasional, mengidikasikan menyerahanya kekuatan ekonomi nasional dalam cengkeraman kekuatan multinasional tersebut. Proses globalisasi senantiasa memunculkan kekuatan dominatif dalam segala bentuknya. Kekuatan dominatif tersebut beroperasi dibalik idiologi tertentu, yang pada gilirannya melahirkan struktur masyarakat yang konsumtif dan cenderung bebas nilai, sebagaimana yang tergambar dalam fenomena shoping mall.
Appadurai (dalam Malik, 1993) mengungkapkan bahwa proses infiltrasi globalisasi pada negara-negara pinggiran (di luar Barat) semakin tajam melalui keberadaan media massa sebagai alat untuk memanipulasi fakta-fakta. Ideologi pencerahan Barat yang beroperasi dibalik jaringan media massa memperoleh saluran legal. Media menyebarkan manipulasi pesan yang memuat isyu-isyu tentang kapitalisme, imperilisme budaya, dominasi budaya, hingga homogenisasi budaya yang tidak mampu dilawan oleh media lokal. Fenomena mediascapes, yaitu melimpahnya arus informasi melalui media keseluruh dunia merupakan salah satu gejala dari globalisasi, yang pada gilirannya menjadikan gaya hidup serba Amerika sebagai panutan.
Proses penyebaran gaya hidup yang diciptakan oleh media menujukkan kekuatan media sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial. Gaya hidup diciptakan sebagai bagian dari perangkap ekonomi kapitalis. Kapitalisme ekonomi memerlukan dukungan kultural untuk menjalankan misinya. Pada kontek tersebut media massa berperan sebagai bagian dari proses pembentuk konstruksi sosial.
Teori triple M menyiratkan hubungan kausalitas antara terbentuknya budaya massa yang mengakar pada kapitalisme global, dengan media massa yang melakukan penetrasi pada masyarakat massa (Mowlana, 1993). Teori ini mengandaikan hubungan signifikan antara peran media massa (mass media) pada masyarakat massa (mass society) dan budaya massa (mass culture), dalam membentuk suatu struktur kebudayaan. Teori ini menyakini bahwa meningkatnya industrialisai dan urbanisasi, monopoli budaya tradisional yang berkiblat pada kalangan aristrokrat dihancurkan oleh budaya rakyat (folk culture) (Mowlana, 1993). Budaya rakyat merupakan kumpulan budaya yang berpusat satu bentuk komunikasi oleh sekelompok golongan tertentu yang berbeda dan dipersatukan oleh nilai-nilai dan kepentingan tertentu. Budaya massa acap kali digunakan sebagai penanda kontradiksi dalam sistematika kebudayaan yang cenderung diskriminatif tersebut. Kategorisasi tersebut diantaranya kontradiksi konsep high culture dengan populer culture, highbrow dengan lowbow, atau kontradiksi antara avant-garde dengan kitsch. Konsep tentang budaya massa sebagi produk kapitalisme dan diluncurkan oleh kekuatan industri senatiasa melibatkan media massa sebagai salah satu elemen utamanya.
Bagi para penganut teori ekonomi politik, yang sebagin besar berasal dari kalangan neo-marxis, menolak peranan total media massa dalam membentuk konstruksi sosial. Media massa semata-mata dianggap tidak memiliki kekuatan memadahi untuk menghasilkan sosok utuh budaya massa yang berkiblat pada kepentingan kapitalisme. Media massa dinilai sebagai saluran yang membawa berbagai muatan budaya, dan di dalamnya hanya memuat sebagian asumsi tentang karakter massa. Sebuah budaya massa hanya dapat terbentuk bila struktur kehidupan sosial suatu masyarakat telah memiliki kondisi yang cukup untuk menerima bentuk budaya yang seragam (uniform).
Saluran Globalisasi dan Kapitalisme
Konsep periklanan lintas negara mewujudkan ide-idenya melalui bentuk-bentuk iklan yang cenderung bebas nilai. Konsep ini mencoba mentrasformasi fenomena permainan rasa (passion game) dalam ide-ide periklanannya. Passion game merupakan upaya mempermainkan perasaan masyarakat untuk mendukung kelangsungan sebuah sistem budaya dominan (Said, 1994). Sistem budaya dominan dalam era global cenderung mengarah pada bentuk kebudayaan yang berkiblat pada kepentingan korporasi multinasional.
Kebudayaan dominan tidak selalu mengarah pada satu sistem budaya elit Barat semata-mata. Kebudayaan dominan dalam era global lebih berbentuk budaya massa yang tidak memiliki akar pada kebudayaan elit. Budaya massa tidak lahir dari konstruksi budaya aristokrat, tetapi dilahirkan oleh penetrasi industri dan media dalam struktur kebudayaan rakyat (folk culture). Fokl culture dilahirkan oleh penyatuan kepentingan dan mempergunakan media sebagai katalisatornya. Kepentingan-kepentingan media dan korporasi multinasional relatif lebih mudah masuk dalam jaringan kebudayaan ini. Kebudayaan rakyat tidak memiliki pijakan yang kokoh, sehingga memudahkan penetrasi karakter massa yang ditopang oleh penyatuan kepentingan temporer. Kondisi tersebut menyebabkan karakter folk culture memiliki siklus hidup yang relatif pendek.
Periklanan lintas negara dibangun berdasarkan sikap membuka diri terhadap karakter budaya massa yang tidak memiliki wilayah geografis formal. Analisa semiotika pada iklan global menunjukan kedekatan hubungannya antara pola konsumerisme yang tertuang dalam manifestasi gaya hidup dengan pergeseran penafsiran terhadap tanda-tanda yang menjadi ciri gaya hidup tersebut. Budaya massa membangun dirinya bersandar pada kepentingan masyarakat massa. Fleksibilitas tersebut menciptakan karakter budaya yang sangat longgar dan rentan terhadap nilai-nilai baru.
Nilai-nilai baru hanya dapat tersalurkan dengan cepat pada struktur kebudayaan yang cenderung sekuler. Pada tataran ini dapat dilihat kedekatan fenomena budaya massa dengan konsep kebudayan Barat yang cenderung sekuler. Penyebaran budaya massa sebagai salah satu imbas dari globalisasi sering kali dilihat sebagai upaya “westernisasi”, walaupun karakter budaya massa tidak sepenuhnya menjadikan Barat sebagai acuan.
Karakter budaya massa sebagai salah satu tema dalam periklanan lintas negara, utamanya pada tema-tema iklan global, pada prinsipnya merupakan upaya mencari satu titik temu dari berbagai karakter budaya lokal yang beragam. Budaya lokal dalam konteks ini dipahami sebagai bentuk kebudayaan tradisional yang bermuara pada kriteria elitis aristokrasi setempat. Budaya massa seperti halnya pada bentuk-bentuk populer menempatkan selera publik sebagai acuan. Selera dominan menjadi panutan, yang pada gilirannya menjadikannya kriteria acuan yang cenderung mengabaikan protes dan tututan kritis (Defleur, 1993).
Iklan dari pihak korporasi multinasional cenderung menggeser asumsi-asumsi tradisional. Pesan verbal maupun visual dari iklan lintas negara menjadi perpanjangan tangan sistem pertukaran nilai, yang menggiring penikmatnya (audiens) pada satu selera. Selera yang dibangun dalam periklanan lintas negara bermuara pada pembebasan hasrat dari kekangan aturan-aturan tradisional. Fenomena shopping maall, sebagai contoh, berangkat dari asumsi yang meletakan simbol-simbol modernitas pada tataran yang lebih tinggi dibandingkan simbol status konvensional. Nilai-nilai normatif diletakkan pada level kepemilikan terhadap benda-benda. Pada tataran ini fungsi benda dipertukarkan dengan fungsi tanda yang dibawa benda tersebut. Nilai fungsi (utilitas) termarginalisasi oleh citra yang diciptakan. Kampanye gaya hidup yang mengarah pada situasi global culture bazaar tersebut, dijalankan secara sistematis.
Respon terhadap iklan lintas negara menjadi sangat beragam, pada saat iklan menjadi mediasi penyebaran budaya massa atau budaya populer, yang dirasakan mengancam eksistensi ekspresi budaya tradisional. Ancaman budaya massa tidak terletak dari kemampuannya untuk merusak hierarki struktur kebudayaan yang telah mapan, tetapi terletak pada kemampuannya untuk menawarkan nilai-nilai baru yang tidak permanen. Sekulerisme yang menjadi salah satu aspek dalam struktur budaya massa, pada hakekatnya merupakan bentuk penentangan terhadap kebekuan pola normatif dari sebuah budaya, utamanya pada ekspresi kebudayaan di luar Barat.
Kekuatan iklan terletak pada kemampuannya untuk memberikan citra tertentu pada sebuah produk (Jefkin, 1997). Melalui citra-citra yang terbentuk produk-produk memiliki kekuatan untuk membangun status sosialnya. Situasi tersebut diperlukan mengingat produk-produk tidak menawarkan utilitas tetapi menawarkan status sosial. Gaya hidup dalam global culture bazaar lebih mementingkan jalinan citra-citra daripada aspek fungsional. Iklan lintas negara berupaya mewujudkan citra-citra tersebut melalui komoditi yang ditawarkannya. Komoditi global tidak mengemban nilai-nilai normatif, tetapi membentuk kelompok nilai-nilai baru yang berpusat pada dimensi hasrat (desire).
Fenomena iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, sebagai mediasi cita rasa global pada praktiknya membuahkan respon yang beragam. Kaum neo-maxis melihat bahwa periklanan global tidak menjadi satu-satunya faktor yang mendorong percepatan globalisasi dalam membentuk cita rasa global. Kalangan neo-marxis mencoba mencari pendekatan baru dalam melihat relasi antara produksi dan konsumsi ini. Kampanye tentang kapitalisme yang secara ekplisit disalurkan melalui media periklanan global, tidak memperoleh hasil yang memuaskan bila secara struktural masyarakat tidak siap menerimanya. Masyarakat dapat dengan cepat merespon pesan-pesan kapitalis yang tertuang dalam sektor populer, diakibatkan oleh situasi bergantungnya struktur budaya masyarakat tersebut pada sistem pasar, organisasi supra-personal, dan pada teknologi. Situasi ini menyebabkan seorang individu tidak mungkin melakukan isolasi dari aktivitas sosial dan produksi yang tengah terjadi. Pada konteks tersebut sektor-sektor populer memperoleh saluran yang tepat.
Terlepas dari respon yang beragam terhadap keberadaan iklan lintas negara, pada praktiknya memperlihatkan hubungan yang signifikan antara keberaan iklan sebagai pembentuk jalinan gaya hidup tertentu. Celia Lury (1998: 88) mengungkapkan bahwa iklan merupakan bagian penting dalam pembentukan gaya hidup. Iklan menjadi alat produsen untuk memanipulasi konsumen, dalam menciptakan kebutuhan artifisial. Pada akhir penjelasannya Lury melihat bahwa praktik-praktik periklan telah menciptakan ruang untuk merefleksikan gaya hidup.
Gaya hidup merupakan salah satu elemen dalam budaya Shoping mall di era global, yang didalamnya lebih menawarkan kebutuhan artifisial dan menonjolkan aspek bentuk daripada isi.
Penutup
Fenomena periklanan lintas negara senantiasa berkaitan dengan beroperasinya ideologi-idiologi konsumerisme. Iklan lintas negara, baik yang bersifat global maupun regional, menawarkan nilai-nilai baru yang berkiblat pada struktur budaya massa. Iklan lintas negara walaupun menerapkan konsep-konsep Barat sebagai acuan, tetapi tidak dapat dilihat sebagai upaya westernisasi semata-mata.
Daftar Rujukan
Ahmed, Akbar S. 1993. Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Budimana, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Defleur, Mervin L dan Dennis, Everette. 1993. Perdebatan Mengenai Budaya Masaa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Hadiwinata, Bob S. 2001. Globalisasi Kultural dan Peran Perguruan Tinggi Berbasis Seni. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1996. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta: Prehallindo.
Laam, Robert C (ed). 1988. The Humanities in Western Culture A Search for Human Value. Iowa: Wm C. Publishers.
Larain, Jorge. 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Malik, Dedy Jamaluddin. 1993. Pengantar Komunikasi dan Budaya Massa. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mowlana, Hamid dan Wilson, Laurie J. 1993. Budaya Masyarakat dan Komunikasi. dalam Audientia Jurnal Ilmu Komunikasi Vol I No. 4 - 1993. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Islam dan Krisis Lingkungan. Dalam Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam No. 3 Januari-Maret 1994. Bandung: Mizan.
Pilliang, Yasraf A. 2001. Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya terhadap Tatanilai Seni Rupa. Disampaikan dalam Semiloka Pendidikan Seni Rupa: Realitas Lokal dalam Konteks Global. Bandung: Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Roxborough, Ian. 1986. Teori-teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES.
Said, Edward. 1993. Kebudayaan dan Kekuasaan Membongkar Mitos Hegemoni Barat. Bandung: Mizan.
[1] Rudi Irawanto. Dosen Jurusan Seni dan Desain- Fakultas Sastra-Universitas Negeri Malang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar